Chapter 4

2.3K 220 2
                                    

Khawatir?

Perasaan takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti.

Perasaan akan hal buruk yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Perasaan berlebih yang mendorong seseorang untuk melindungi.

Jika mendengar kata itu, ada satu orang yang terbayangkan oleh ku.

Kakak...

Tatapan kakak terhadapku, perlakuan kakak terhadapku, semua menunjukkan emosi kekhawatiran.

Pandangannya teduh, namun memilukan jika dilihat lebih dekat.

Apakah diriku, semenghawatirkan itu?

.
.
.

Saat usiaku sembilan, kakak berusia sebelas.

Jika dibandingkan, kehidupan kami tidak jauh berbeda.

Hidupku yang lambat laun ayah rusak, sekaligus merusak hidup kakak secara tidak langsung.

Kegiatan kakak sehari-hari jika tidak berkutat dengan buku, menyentuh alat musik diruang musik.

Hampir tidak ada, sedikitpun waktu untuk bermain.

Ketika kakak menghabiskan waktunya dengan mengikuti berbagai kegiatan les, aku hanya dapat memperhatikan kakak sebagai pengisi waktu luangku.

Ketika kakak belajar, berkutat dengan buku-bukunya, wajah kakak terlihat khawatir.

Ketika kakak melantunkan sebuah lagu dari sentuhan alat musiknya, ekspresi kakak tetap menunjukkan rasa khawatir.

Entah apa yang kakak khawatirkan, tapi aku ingin menghilangkan kekhawatirannya.

Walau setiap malam saat kakak berkunjung ke kamar untuk mengantarkanku tidur dengan sebuah senyuman.

Namun aku tau, senyuman itu hanya sebuah topeng pertahanan dirinya.

Aku ingin mengukirkan senyum diwajah kakak, namun bagaimana aku bisa bahkan untuk diriku sendiri pun aku tak mampu.

.
.
.

Banyak yang berubah dari keseharian Jimin setelah kejadian malam itu.

Untunglah, perubahannya mengarah pada hal positif.

Seperti pagi ini, Jimin yang berteman akrab dengan ranjang namun kini sudah berkutat dengan bahan-bahan makanan.

Lebih tepatnya, Jimin sudah menyibukkan diri dengan memasak bubur dipagi hari.

Tidak lupa mampir ke kamar Yoongi untuk membangunkan sang kakak yang masih ada di alam mimpi.

Saat Yoongi setengah sadar, ia terheran karena biasanya suara alarm yang membangunkannya namun kini suara seseorang yang menyapa gendang telinganya dipagi hari.

Dan saat benar-benar sadar, Yoongi membolakan matanya dan berteriak.

"Jimin-ah!"

Jimin yang baru saja keluar dari kamar Yoongi kembali berjalan mundur dengan hanya memperlihatkan kepalanya memandang Yoongi dengan penuh tanya.

"Kenapa hyung?"

"Apa yang kau lakukan?"

"Aku?"

"Ya, kau!"

Jimin berpikir sejenak untuk mencerna pertanyaan kakaknya itu.

"Ahh aku akan kembali memasak hyung"

"APA?!"

Jimin terkejut dengan teriakan Yoongi, untuk pertama kalinya Yoongi melihat wajah konyol Jimin saat terkejut.

Sangat lucu...

"Hahahaha ada apa dengan wajahmu itu?"

"Wajahku? Kenapa? Berjerawat?"

"Tidak tidak, ekspresimu sangat lucu"

"Aku?"

"Iya Jimin, kau. Kau banyak sekali perubahan akhir-akhir ini"

"Apa itu bagus?"

"Tentu saja"

.
.
.

"Hyung biar aku suapi"
"Hyung biar aku bantu naik taksi"
"Hyung biar aku antar ke kelas"
"Hyung jika butuh apapun, panggil aku"

Sederet kalimat yang tak disangka akan keluar dari mulut Jimin.

Kondisi Yoongi yang harus berjalan memakai kruk karena kejadian tempo hari memang membuat Jimin sedikit terpicu.

Rasa yang biasanya hanya dirasakan oleh Yoongi kini Jimin pun merasakannya dengan jelas.

Khawatir...

Dan sangat berlebih, sehingga membuat Yoongi sedikit ketakutan karena perubahan mendadak Jimin.

"Jimin-ah aku masih bisa melakukan semuanya sendiri, kau fokus pada studymu"

"Bagaimana bisa aku fokus? Kau tak bisa beraktivitas seperti biasa karena aku, dan kau ingin aku bersikap seperti biasa?"

"Bukan begitu, kau berlebihan.. kau tau? Sebenarnya aku sedikit takut"

Jimin mengangkat sebelah alisnya, jika diingat-ingat tak ada hal yang dapat membuat Yoongi takut, lalu hal apa yang membuat kakaknya merasa takut saat ini.

"Aku tau seharusnya aku senang melihat perubahanmu yang bisa menghawatirkan orang lain, tapi kekhawatiranmu berlebihan dan aku belum terbiasa."

"Dan aku sudah terbiasa dengan rasa khawatirmu padaku. Jangan egois, sekarang giliranku untuk menghawatirkanmu hyung."

Yoongi menatap Jimin serius, dan seketika tersenyum hingga kedua matanya tak terlihat.

"Baiklah, kau boleh merasa khawatir sepuasmu"

Kini giliran Jimin yang menatap Yoongi intens, memperhatikan senyum Yoongi yang terasa hangat.

"Hyung"

"Hmm"

"Ini pertama kalinya aku melihat senyummu"

Yoongi mengangkat sebelah alis dan memiringkan sedikit kepalanya.

"Benarkah? Seingatku aku selalu tersenyum padamu"

"Eumm.. senyum dari bibirmu, namun saat ini aku melihat senyuman dimatamu"

Yoongi tertawa kecil menanggapi penyataan Jimin.

"Senyuman yang selalu hyung tunjukkan padaku, tak pernah terlihat senyata ini sebelumnya"

Kalimat Jimin membuat yoongi berpikir lebih dalam.

"Kau benar, dan kau alasanku tersenyum. Jadi lain kali, izinkan aku yang menjadi alasanmu tersenyum"

Jimin hanya mengangkat bahunya acuh.

"Sampai bertemu nanti sore"

Jimin melenggang dengan melambaikan tangannya meninggalkan Yoongi.

"Tunggu dikantin Jimin"

"Aku tau"

Lagi pula, tidak ada alasan untuk Jimin menunggu Yoongi di parkiran.

Karena mereka berdua saja pergi ke kampus dengan menaiki taksi, bukan dengan sepeda motornya.

Keduanya berpisan dengan pikirannya masing-masing.

Senyuman itu, apakah pantas terukir dibibir mungilnya?

.
.
.

Tbc

-aciw

Beauty of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang