Sederhanaku Membawa Petaka

8 5 0
                                    

Langit yang tadinya biru, kini jadi kelabu. Kututup mataku, menikmati hari baru. Kurasakan udara dingin menerpa wajahku, serta tirai putih yang tergantung di jendela kamarku.

Perlahan rintik hujan pun turun, bersamaan dengan hilangnya rasa kecewaku. Aku buka mataku lalu beranjak meninggalkan hal damai yang kusukai.

Kututup jendela, tak mau rintiknya masuk menerpa tubuhku. Tapi, ketenanganku tiba-tiba saja terganggu, aku menghela napas.

BRAK!

"Suara apa lagi itu? Ya ampuun."

Aku berjalan ke sumber suara dan menemukan atap yang terbuat dari batu bata ini jatuh tertiup angin yang kencang. Aku memijat dahiku, pusing menyerangku lagi.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan, bersiap untuk memanjat ke atas dikeadaan yang seperti ini.

Percayalah, memanjat atap rumah dalam keadaan seperti ini adalah hal yang sangat susah. Untungnya atapku terbuat dari batu bata jadi kelicinannya berkurang. Tetapi jika salah melangkah, kamu akan terjatuh bersama batu batanya.

Setelah sampai pada tempat batu bata yang jatuh, aku mengambil batu bata yang baru dan mencoba memperbaikinya. Selesai sudah masalah, aku pun kembali turun dan menikmati lagi ketenangan hidup yang susah kudapatkan ini.

Aku menyiapkan air hangat untuk aku mandi, dan setelahnya aku menyiapkan air panas untuk membuat teh. Menurutku yang paling enak dinikmati saat cuaca dingin seperti ini adalah teh hangat, ah memikirkannya saja sudah membuatku nyaman.

Cerek berteriak memanggilku agar mematikannya, aku pun tersadar dari lamunan teh hangat lalu beranjak dari kursi untuk memenuhi panggilannya.

Dengan telaten, kusiapkan air hangat untukku mandi dan memasak lagi air panas untuk teh hangat. Bertepatan dengan aku selesai mandi, cerek itu kembali berteriak memanggilku, setengah berlari aku menghampirinya.

Namun, aku malah terjatuh dan terduduk di lantai. Aku mengerang kesakitan dan tiba-tiba saja air mataku ikut menemani kesakitan ini. Cerek yang belum kupenuhi permintaannya malah menyemburkan air yang ada di dalam perutnya, terpaksa aku coba bangkit walaupun masih terasa sangat sakit.

Aku berjalan sambil memegang pinggang, sekarang aku terlihat seperti nenek-nenek yang kutemui kemarin di Panti Jompo. Tetapi perjuanganku tidak sia-sia, akhirnya aku kesampaian untuk memenuhi permintaan cerek.

5 jam kemudian ....

Aku bangun dari tidur dan langsung memijit kedua kakiku, rasanya sangat sakit. Aku terdiam sebentar lalu mencoba berdiri mengambil obat yang ada di dapur, tetapi kenapa kakiku tak mau mengikuti sang otak? Ayolah, ini bukan saat yang tepat untuk kalian berdua bertengkar! 

Aku memijit-mijit kakiku agar tidak terlalu terasa sakit, tetapi pijitanku tak berefek sama sekali malah membuat sakitnya semakin terasa. Untungnya hp kuletakkan di meja samping tempat tidur jadi aku tidak perlu susah payah untuk mengambilnya. Segera aku ambil dan menelpon seserang yang lumayan dekat denganku.

Tak tahan dengan sakitnya, aku pun menangis tersedu-sedu hingga kakakku datang dengan kecemasan yang berlebihan. Dia juga ikut menemaniku menangis, padahal yang sakit itu aku kenapa tangisannya lebih kencang? Dasar cengeng! 

Beberapa menit berlalu, kami pun sampai di rumah sakit milik ayah kakakku dan aku segera di bawa masuk ke dalam rumah sakit menggunakan kursi roda. 

Setiap ke rumah sakit ini aku selalu teringat wajah ayah kandungku yang baru mengakui aku sebagai  anaknya saat dirinya dalam keadaan sakaratul maut. Ibu yang membesarkanku seorang diri tidak pernah marah ataupun berusaha untuk mendekatkanku kepada ayah.

The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang