Kepedihan || 02

4.3K 428 11
                                    

Fugaku mengeraskan rahang, menatap tajam kedatangan Sasuke yang membawa satu gadis tanpa tahu keturunan beserta hal-hal lain yang seharusnya pria paruh baya itu ketahui. Gadis berambut aneh tanpa marga. Tidak tahu diri. Fugaku menggeram, melangkah mendekati Sasuke tepat di hadapan anaknya keki. Wajahnya memancarkan aura intimidasi. Sasuke balas menatap ayahnya sendiri tanpa merasa takut, iris mereka yang sama saling menubruk memercikkan perselisihan.

Sedetik setelahnya, Fugaku memukul rahang Sasuke kasar. Membiarkan darah dagingnya tersungkur mengenaskan dengan sudut bibir tergores. Dada pria paruh baya itu naik turun. Iris Hinata yang terhiasi softlens melebar, telingannya mendengar dentuman. Apa yang terjadi dengan tuannya? Dahi gadis itu berkerut.

"Benar-benar mirip, kau dan wanita gila itu sungguh membawa sial. Kau ingin menghancurkan perusahaan Ayahmu sendiri, begitu?" Sasuke mengepalkan tangannya menahan kemurkaan, napasnya memburu. "Jangan ...," ketusnya penuh ancaman. "JANGAN PANGGIL IBU DENGAN MULUT KOTORMU, BRENGSEK!"

Fugaku tersenyum, wajahnya tanpa ekspresi menatap datar Sasuke tanpa rasa kasihan. Iris gelapnya menyorot lurus. "Anak haram sepertimu, berani mengancamku?"

Hinata merasa, waktu seolah berhenti berputar. 'Semua akan baik-baik saja' adalah kalimat kebohongan yang tidak akan pernah terjadi. Kak Neji berbohong, kak Neji tak pernah menepati kata-katanya. Buktinya ibu tetap terenggut nyawanya setelah ayah dipenggal hidup-hidup oleh para manusia bajingan yang membenci keluarga Hyuuga. Setelahnya, Sasuke.

Hinata harus bagaimana, jika Sasuke memiliki luka sedalam ini? Tak pernah terpikirkan oleh Hinata, bahwa lelaki penuh kesempurnaan tersebut ialah seorang lelaki yang lahir hasil dari perselingkuhan.

Anak haram?

Sebegitu hinakah anak haram? Hingga ayah kandung Sasuke pun sama sekali tidak mau menganggapnya sebagai seorang Uchiha.

Uchiha yang terbuang, itulah yang mewakili perasaan seorang Sasuke. Tentu saja, Sasuke tumbuh menjadi seorang yang penuh ketakutan, kekhawatiran dan trauma. Setiap malam, Hinata bisa mendengar lirihan Sasuke di tiap tidur-tidur lelaki itu yang tak pernah benar-benar terlelap. Jadi di mana keadilan yang ada di dunia ini? Hinata mengerjap, kakinya seolah melemas begitu saja. Ada harapan yang tersimpan di benak Hinata, seandainya Hinata bisa melihat, ingin sekali rasanya Hinata mengusap wajah Sasuke yang dipenuhi luka kehidupan. Memeluknya, mengatakan ayo kita berjuang bersama-sama.

Karena Hinata sendiri tidak tahu bagaimana meredahkan kekacauan yang terjadi dalam dirinya sendiri, bagaimana mungkin Hinata bisa menolong seorang Sasuke yang sekarat diikat oleh rantai kehidupan yang mencekik sekujur tubuhnya. Sasuke seharusnya tidak boleh hidup di dalam kekangan kegelapan yang tak seorang pun bisa menembusnya. Pantas saja. Pantas saja, Sasuke melakukan segala cara agar Hinata tidak meninggalkannya. Hinata menahan napas. Telinganya mendengar tawa pahit yang mengalun dari bibir Sasuke yang terdengar kesakitan di panca indera pendengaran gadis itu.

Sasuke terkekeh, menatap Fugaku dengan iris menggelap tanpa pantulan cahaya. Matanya menyorot lurus. "Aku bahkan tidak akan pernah menganggapmu seorang Ayah, Tuan Uchiha Fugaku terhormat." Sasuke menguarkan aura hitam, jantungnya berdegup, selanjutnya merasa nyeri saat Fugaku tidak bergeming dan tetap menatapnya tanpa sorot iba ataupun kasih sayang seperti seorang ayah pada umumnya. "Kalau begitu, pergilah." Sasuke bernapas sesak, Fugaku melanjutkan tanpa beban. "Terserah padamu, kau bukan anakku. Anakku satu-satunya hanyalah Uchiha Sai." Melirik Hinata pun, Fugaku merasa hina. Gadis kotor tanpa marga menandakan gadis itu tidak memiliki keturunan yang jelas! Fugaku membalikkan badan, kemudian meninggalkan Sasuke bersama Hinata tanpa mengucapkan kata-kata lainnya.

Stay With Me Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang