Aku tidak pernah ketempat ini. Aku tidak pernah mendengar nama tempat ini, mungkin karena aku terlalu sulit dirayu pergi ke tempat makan selain warung geprek didepan kator kami. Mungkin karena bos ku tercinta senang memberikan cobaan hidup berupa dateline tidak masuk akal. Aku berdiri lama didepan pintunya. Rasanya seperti begitu lama aku tidak melihat dunia selain dunia kantor. Jalan-jalan hunting foto prewwed, unting gedung, hunting butik. Sesuatu yang meskipun seakan liburan tetapi terus mengikatku pada dunia yang sama. Dunia kerja.
Café ini adalah sebuah bangunan kayu, dua lantai yang seperti namanya penuh dengan bunga. Aku yang sebenarnya Wanita, Perempuan, cewe, girs ini tidak paham-paham betul tentang bunga. Mama mungkin bisa mengabsen satu persatu jika Ia disini sekarang. Mungkin karena itu nama terakhirku melati. Nama yang sering teman-temanku tertawakan karena terlalu tidak masuk akal untuk aku. Aku, yang mereka kenal.
Aku menyentuh mawar yang rimbun didepan café. Merah yang mewah. Mama selalu bilang mawar adalah perempuan. Cantik, anggun, berduri. Perempuan tidak menyakiti bukan karena mereka tidak mampu, mereka hanya terlalu baik hati untuk melakukan hal-hal mengerikan semacam itu. Dan definisi maha indah seperti itu terlalu bukan aku. Jadi kesal.
Ketika aku menginjakan kaki di Café yang disebutkan di pesan. Aku mencium bau sekoper uang dan bau-bauan segala hal bermerk yang tidak pernah bisa kubeli, aroma bunga ditutupi impian menjadi kaya raya. Ketika duduk disalah satu bangkunya aku membayangkan menyetir. Sebentar lagi aku membayangkan makan di Dubai.
“Atania?”
Suara seseorang membuyarkan lamunanku ketika menginjak lantai bandara untuk pergi ke Dubai.
“Mika?”
Aku siorang yang akan sangat mengingat nama orang kaya.
“Niko.”
Aku menyipitkan mataku. Ini Orang yang kutemui?
“Mika bos Saya, yang ingin membeli gaun Kamu.”
Orang itu tersenyum, sebelum duduk disebrang meja. Aku mengangguk.Ia lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Mengeluarkan selembar kertas. Cek! Teman-teman!
“Pa Mika seharusnya datang sekarang. Tapi Ibunya menelpon, ingin bertemu. Sangat penting. Oh ya Ata, Pa Mika bilang silahkan isi sendiri harga yang Kamu mau.”
Teman-teman. Saudara-saudari. Gays. Kepalaku terasa mengecil mendengar kalimat terakhir yang Orang ini ucapkan. Sampai aku lupa aku seharusnya memperingatkan Aku tidak suka dipanggil Ata kecuali aku halilintar.
“Berapapun?”
Ini agar aku tak salah tanggap dan ketahuan GO longan manusia miskin!
“Dress itu sepertinya sangat berharga.”
Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat ingin tau kenapa. Tapi aku tidak ingin terlibat. Aku tidak akan bertanya.
“Kenapa?”
Sialan, si mulut berkhianat.
“Mau pesan sesuatu dulu, sejujurnya Saya agak lapar.”
Untuk cerita yang sialnya sangat ingin kudengar? Baiklah. Aku mengangguk. Niko memilih makanan di menu.
“Ngomong-ngomong, bisa langsung keluarkan gaunnya?”
Tidak. Belum. Setengah jam perjalanan kerumah mungil, kecil, jauh dari peradabanku. Waktu terlalu singkat. Aku menggeleng, mungkin menyenangkan jika aku terdengar jual mahal.
"Sebenarnya Saya tadinya tidak tertarik dengan tawaran ini. Tapi karena Kamu bilang dress yang saya punya sangat berharga, Saya jadi ingin tau bagaimana ceritanya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Dress Adventure
FantasyBayangkan kamu tidak memerlukan tiket pesawat untuk pergi keseluruh tempat yang kamu inginkan. Tinggal pejamkan mata. Pakai dress maroonnya lalu bayangkan sebuah tempat yang kamu inginkan.