Teleportasi

5 8 0
                                    

Aku sudah lupa kapan terakhir kali orang orang duduk di ruang tamuku. Aku sudah lupa kapan terakhir kali mengambil soda dari kulkas. Aku kaku dan bingung harus bagaimana. Jadi Tami yang melakukan semuanya sementara kami. Aku, Niko, dan Mika duduk kaku seperti interview kerja. Mungkin karena ada bos disini dan kami, bagi diri kami sendiri adalah anak buah. Karyawan yang kurang THR. Tidak punya kekuatan untuk bicara terlebih dahulu.

Tami datang dengan cemilan yang kuberi tiga hari yang lalu, bersamanya. Ia duduk setelah menggeser bangku di dapur. Membelakangi TV. Masih tidak ada yang bicara. Aku melihat kening Niko berkerut. Telapak kaki Mika bergerak seperti mengikuti dentuman musik. Karena ruangan ini senyap. Mungkin ia mengikuti degup jabtungnya. Aku menatap Tami didepan ku. Tepat ketika Ia melirik tajam padaku.

"Aku masih gak yakin Kita dengan wujud sangat manusia ini akan membicarakan dress maroon ajaib yang bisa memindahkan tubuh manusia kita ini kelain tempat."

Tami akhirnya tidak dapat menahan lagi. Ia sangat tidak suka kesunyian semacam malaikat lewat.

"Jadi menurut kamu kita bukan manusia apa gimana?"

"Pernah nonton film horor yang hantunya gak sadar dia udah mati belum."

Tami dan dirinya tanpa suami didekatnya. Aku yakin saat aku menatap tegak kearah Tami. Niko dan Mika melakukan hal yang sama.

"Perjalanan, teleportasi itu terlalu diluar...."

Tami menggeleng tanpa menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak punya kata kata untuk menyelesaikan kalimat betapa tidak mungkinnya semua yang baru saja ku ceritakan dan Niko yakinkan.

"Kamu yang dulu paling percaya ini."

"Maka dari itu Tan, ini itu dongeng paling tidak mungkin dan semakin tidak mungkin meskipun ingin itu ada, aku... Semacam bintang bisa turun tepat diberanda rumah terus bisa dimasukin kekantong."

"Umur 17 tahun, kamu maksa aku untuk percaya itu."

"Dan kita sekarang dua puluh sembilan."

"Saya dua puluh tujuh."

Niko menegakan tubuhnya. Aku dan Tami menatap dalam satu detik yang sama.

"Saya juga sama, saya bingung, masih bingung, masih berfikir saya mungkin akan bangun. Tapi kalau saya gak bangun saya yakin saya tidak berhalusinasi ketika sampai dihalaman rumah penuh salju, malam hari, menggotong perempuan pingsan, diberi wiski, selimut dan bingung mau bercerita apa pas ditanya bagaimana cara sampai ditempat itu sama yang punya rumah."

Tami mengernyit.

"Salju? Malam? Gimana sih kinerja di dress ini? Serius sama kaya yang Nene ceritain, gak dong?"

Aku menggeleng.

"Sayangnya, sangat sama Tam."

Kernyitan di dahi Tami makin dalam. Ia sepertinya akan tua dengan cepat.

"Jadi rumah siapa itu, yang kamu bayangkan."

Lalu Tami memejamkan matanya. Tidak menunggu jawabanku.

"Setelah bertahun-tahun."

"Empat belas tahun."

Dan aku yakin Tami ingin cerita lengkapnya setelah dua orang ini pergi.

Di kiriku, seseorang menghela nafas. Ia yang tadinya menyender. Menegakan tubuhnya lalu menopang kedua tangannya di lutut. Kaku. Sekali.

"Jadi, maksud kalian, dress itu akan membawa siapapun yang memakainya pergi ketempat yang dibayangkan?"

"Iya, menurut cerita begitu, kamu mau pakai?"

Dengan cepat Tami menyahut. Niko tidak merespon. Ia menatap ubin dibawah kakinya.

"Kalau tempat itu tidak pernah ada bagaimana?"

Ia menegakan wajahnya, menatap kami bertiga satu-persatu. Mata coklatnya sangat mengintimidasi.

"Menurut teleportasi pasti tidak."

Niko mencoba menekuk tubuhnya seperti yang dilakukan Mika. Gagal mengintimidasi.

Mika menghela nafasnya. Lalu menatap dengan lembut dress maroon yang sengaja kami taruh dipatung gaun. Milikku, untuk gaun pengantin yang sampai dirumah ini dulu sebelum lulus uji lalu dikirim ke kantor. Sementara aku memakai kaos hitam yang terlalu sering dipakai.

"Tentang teleportasi, mungkin Niko tau, Sudah lama saya sangat tertarik tentang hal itu."

Mika masih menatap dress.  Sementara Niko memejamkan matanya, tertangkap basah selama ini.

"Teleportasi tidak punya bukti apapun. Saya sudah baca banyak teorinya. Jurnal. Majalan dan semua bukti hanya seperti fiksi yang di buat-buat."

"Tapi saya tidak pernah bisa percaya bahwa itu tidak ada."

Kaku dan sangat serius. Aku bisa melihat sesuatu dalam mata Mika ketika ia menghela nafasnya laku kembali menatap lantai.

"Menurut Kamu, kemana perginya yang menghilang."

Aku hati-hati setengah mati mengatakan ini semua. Mika melirikku dengan matanya yang selalu terasa mengancam karena tajam.

"Sama seperti yang kamu dan Niko ceritakan. Mungkin tempat yang paling orang-orang itu inginkan."

Kata orang-orang yang dikatakan Mika terasa asing bagiku.

"Kemana adik Kamu sangat ingin pergi?"

"Mungkin ini gila. Tapi Adik saya selalu bilang ingin pergi ke dalam lukisan yang dipajang diruang tamu Kami, dan tempat itu tidak pernah benar-benar ada".

Mika mengatakannya dengan tenang sementara kami bertiga mendengarkan dengan kening dan dahi berkerut. Ini terasa semakin gila. Suasana ruang tamu menjadi dingin. Tak ada yang bicara.

"Oke, dari dulu Aku gak pernah suka teori-teori begini," Tami menghela nafasnya dalam lalu berdiri, "Kita praktikan."


Red Dress AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang