Aku mengerjap. Aku hangat. Aku pusing. Cahaya lampu membutakan ketika aku membuka mata. Pecahan-pecahan gambar didepan wajahku membuat kepalaku terasa berat. Perlahan pecahan-pecahan itu menjadi utuh. Wajah Niko, wajah Ayah, dan wajah seseorang, yang belum Aku kenal.
"Sudah baik-baik saja Tania?"
Dan aku sadar yang baru saja terjadi bukan mimpi. Aku memejamkan mataku lagi. Berharap ketika aku membuka mata aku kembali ke kamarku. Didepan cermin dan semua yang terjadi hanya hayalan.
"Coklat hangat, mungkin akan membuat kamu lebih baik."
Itu suara Niko, Ia menaikan secangkir coklat yang mengepul. Memamerkannya padaku.
"Aku akan memasak makan malam. Turunlah kalau kalian siap."
Yang Ayah maksud adalah kalau aku sudah sanggup menatap wajahnya dan bicara. Niko menatap mataku dengan kening terangkat. Ayah tidak bicara apapun pada Niko tentang hubungan Kami dan Niko ingin tau apa yang terjadi.
Aku masih diam. Tidak bergerak. Tidak mencoba bangun. Ketika Ayah melangkah pergi bersama anak laki-laki bermata biru dan berpipi merah yang menatapku bingung sebelum menutup pintu. Dia mungkin adikku, memikirkan hal itu membuat hatiku tiba-tiba sesak.
"Ini sangat gila Atania."
Niko menaruh cangkir coklat hangatnya disamping ranjang. Aku tidak yakin apa yang gila. Karena segalanya tidak terasa waras. Tidak satupun.
"Sampai detik ini, Saya masih yakin ini mimpi dan kalau saya bangun saya akan ingat dan ngeri."
Aku menatap wajah kalut Niko. Ini benar benar gila! Dan kami berdua tau itu. Aku bahkan tidak dapat mencerna semua ini dengan benar. Segala sesuatunya terjadi terlalu cepat. Sangat cepat. Bukan hanya satu hal. Banyak hal. Bagiku.
Kenangan tentang Mama melayang-layang. Hari dimana ia menghilang tanpa jejak apapun. Dengan sangat tidak masuk akal. Membingungkan hingga membuatku merasa itu hanya imajinasi ku. Ia pergi sebelum aku sampai kekamar. Ayah menahanku terlalu lama. Segala hal sudah kufikirkan tapi tidak ada satupun yang terasa benar. Mama memang menghilang dan hari ini mungkin kudapatkan jawaban atas apa yang terjadi hari itu. Mama menghilang dengan cara ini. Cara yang tidak pernah kufikirkan. Cara paling gila yang mungkin terjadi.
Dan hari ini aku bertemu Ayah lagi. Dan Ia tidak terasa asing meski telah begitu lama tidak kutemui. Aku masih bisa mengenalnya. Bahkan hanya dengan wajah yang mengintip dijendela.
Mata birunya masih sehangat bertahun-tahun yang lalu. Hanya saja rambutnya sudah penuh uban. Ia masih laki laki yang menemaniku bicara dimeja makan. Ia masih laki laki yang menceritakan dongeng yang Ia karang sendiri sebelum aku tidur. Ia masih laki-laki yang meninggalkan Mama untuk perempuan lain.
Dadaku sesak. Aku memalingkan wajah untuk menenangkan diriku sendiri. Segala hal yang terjadi belum terasa nyata. Tapi perasaan yang kurasakan meneriaki ku dengan keras bahwa ini nyata. Sangat nyata. Dan aku tidak ingin menghadapi ini semua. Tidak sekarang.
"Ata, ini sangat membingungkan dan saya gak yakin kamu tau jawaban pertanyaan dikepala saya."
Tapi seperti segala hal yang telah terjadi. Semua masalah semua perasaan dalam diriku harus segera ku selesaikan. Sendiri.
"Iya, Saya juga bingung."
Hanya itu yang akhirnya keluar dari mulutku. Aku menatap Niko yang memandangi ruangan dengan bingung. Ia masih tidak yakin ini bukan mimpi. Dan aku tidak bisa menghadapi semua ini sekarang. Aku tidak bisa bicara pada Ayah. Sekarang. Begitu juga yang dia rasakan.
Aku bangun perlahan. Duduk dipinggir ranjang. Dan sialnya menatap isinya. Ini pernah jadi kamarku. Tidak berubah banyak. Bahkan karpet yang digunakan masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu ketika kamar ini kutempati.
Aku hampir menangis ketika Niko berlutut di depanku. Aku menggelengkan kepalaku. Berusaha melupakan apapun yang membuat air mataku hampir tumpah.
Niko masih memandangiku dan itu membuatku tidak nyaman. Tidak ada yang perlu tau perasaanku.
"Kita pulang sekarang!"
Niko ingin mengatakan sesuatu sebelum mulutnya terbuka dan membeku. Ia menggeleng.
"Pasti sulit mencari kendaraan pas salju parah begini."
Lalu Ia terpaku pada kata-katanya sendiri. Tersadar itu sama sekali tidak kami butuhkan. Aku meraih tangannya. Menatap pantulan tubuh kami dicermin. Bahkan cermin itu masih ditempatnya. Disamping lemari kayu yang Ayah buat sendiri.
Aku menghela nafasku. Memejamkan mataku. Kubayangkan kamarku. Ranjang putih gading. Cat biru laut. Lemari kayu. Cermin panjang disampingnya.
Lalu Aku merasa perlahan-lahan menjadi serpihan yang tidak punya masa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Dress Adventure
FantasyBayangkan kamu tidak memerlukan tiket pesawat untuk pergi keseluruh tempat yang kamu inginkan. Tinggal pejamkan mata. Pakai dress maroonnya lalu bayangkan sebuah tempat yang kamu inginkan.