»1 Kompor

177 18 2
                                    


"Kertas kan keras kepala!"

→←

"Nih, satu tambah satu sama dengan dua."

"Ih, itu anak tk juga tau."

"Pernah tk kan...?"

Aku mengangguk.

"Ya udah. Diem!"

Aku kembali menghembuskan nafas kasar. Sore ini, aku dan dia berniat untuk belajar bersama di rumahku.

Seperti saran darinya, aku kembali bersekolah. Walau kadang bolos.

"Terus ini gimana caranya..?" geramku.

"Kerjain dulu."

"Udah!"

Dia melirik ke soalku sebentar. "IPA?"

"Iya," kataku kesal. Udah tau soalnya tentang bangun datar. Masih aja tanya?

"Jawabannya C. 232."

Tanpa berfikir panjang, aku segera menyilang jawaban.

"Gak pake cara?"

"Ga usah," ketusku. Lalu mengerjakan soal berikutnya.

"Kok gitu..?"

"Ngapain pake cara. Kayak gurunya mau nilai satu satu caranya."

"Ya kan bisa jadi kamu udah lupa caranya. Sering bolos sih!"

"Yang penting masih masuk."

Dia menghembuskan nafas kasar. "Untung kamu anak cerdas. Jadi cepat masuk pelajarannya."

"Hm, iya.. saking cerdasnya.."

Aku dan dia langsung menatap wanita paruh baya yang datang bersama nampan dan 2 cangkir teh hangat. Dia ibuku.

"Nyalain kompor aja nggak bisa," sambung ibu meledekku.

"Kan belum diajarin," elakku.

"Kelas 6 sd kok ya.. nggak bisa.." ledek ibu lagi, "gimana mau masak."

Aku kesal setengah hidup. Sedangkan dia, malah sibuk tersenyum tidak jelas.

"Gif, ajarin tuh! Biar bisa nyalain kompor."

Gif masih tersenyum.

Ya, nama malaikatku, Gif. David Giffari.

"Iya bu, nanti saya ajari."

Dih, baru SMP aja udah ngomong 'saya'

Ibu tersenyum. "Dah, di lanjut belajarnya. Jangan lupa di minum."

Gif mengangguk. Ibu berlalu ke dapur. Aku kembali menatap Gif.

"Kapan belajar nyalain kompornya?"

Segera ku layangkan tatapan mautku. Gif terdiam sebentar.

"Natap terus. Awas suka!"

Mata segera ku pejamkan. Amit amit.

Sedang dia malah tertawa melihat reaksiku. Ya kali, aku bakalan suka sama sahabat sendiri.

Tawa Gif berhenti. "Oya, gimana kabar Ibumu?"

"Ya, seperti yang terlihat. Dia pura pura baik baik saja."

Melihatku yang berubah murung, dia mendekat. "Hei!"

Aku menoleh ke arahnya.

"Hei, sayangku.. hari ini kamu jelek.. pake banget."

Gif berusaha mencairkan suasana. Namun, aku hanya menatapnya datar.
Gif berdecak.

Ku yakin, pasti ucapan..

"Yah, nggak asik ah."

Tuh, kan.. bener..

"Dari mana kamu tau ibu hanya pura pura?" Tiba tiba saja Gif bermimik serius.

Aku tersenyum kecut. "Penyakit Ibu tak mungkin sembuh dalam waktu singkat."

Gif merangkul bahuku. Mentransfer kekuatan. "Ibu akan baik baik saja."

Ku menoleh menatap manik miliknya.

Dia selalu ada disetiap diri ini butuh. Namun, ada perasaan tak tenang setiap manik matanya menatap dalam. Ada sesuatu kata yang seperti diucapkannya.
Yakni perpisahan.

→←

Seperti janjinya pada Ibu, sore ini juga, Gif mengajariku menyalakan kompor.

"Ish, itu belum ketekan."

"Udah nih. Gasnya yang habis."

"Belum itu."

"Udah!"

Aku tetap bersikukuh sudah mengikuti semua instruksi dengan baik. Gengsi dong, masa kalah sama cowok.

"Hih! Keras kepala!"

"Emang!" balasku. "Kertas kan keras kepala!"

Gif berkacak pinggang. "Sini aku coba."

Aku mundur memberi ruang kepada Gif untuk menyalakan kompor.

Dengan sekali coba, kompor berhasil dinyalakan. "Itu bisa, nggak mungkin apinya setan kan..?"

Aku memasang muka malas.

"Coba lagi.."

Menarik nafas panjang, aku mencoba lagi.

"..ditekan!"

→←

"35 kali percobaan. Baru berhasil," gumam Gif.

"Gak sampe 35!"

Gif melirik arloji di tangannya. "Udah sore aja."

Ya kali, matahari tenggelam namanya pagi.

"Aku pulang ya.." Gif segera menarik tas ranselnya. "Semangat buat UN nya!"

Aku hanya menatap datar, "hm."

"Kapan sih?"

"3 bulan lagi."

Gif manggut manggut mengerti. Ia lantas melangkahkan kaki ke pekarangan rumah.

"Oya," Gif berbalik, "bilang ke Ibumu, lusa hati hati."

Aku mengernyit, "kamu mengkhawatirkan Ibu?"

Dia tersenyum.

Aku akui, senyuman itu berbeda dari biasanya.

"Aku malah lebih mengkhawatirkan kamu."

Belum sempat ku bertanya, dia sudah bergegas pergi.

"Dadah!"

Mataku terus menatap punggungnya. Hingga kemudian hilang di tikungan gang.

Semesta memulainya.
Dia masih setia di sampingku. Dan tak dapat dipungkiri, dia juga akan hilang seiring berjalannya waktu.

Kertas (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang