1

27 4 3
                                    

Malam itu, hujan lebat menyelimuti Manhattan. Aku menyesap teh hijauku yang masih hangat sambil mengangumi keadaan luar dengan jalanan dipenuhi lampu-lampu natal.

"Pemandangan yang indah, bukan?" tanyaku sambil memalingkan pandangan ke arah Aidan.

Ia memandangku dan tersenyum hangat, "Memang indah. Tapi tidak seindah yang ada di depanku sekarang."

Pipiku memerah. Ya Tuhan. Mengapa dia begitu manis. "Aku mencintaimu." ucapku dengan lantang.

Dia berdiri dari bangkunya dan berjalan ke arahku. "Aku juga, sayang." balasnya sambil mengarahkan satu tangan kepadaku. Aku terdiam bingung untuk beberapa saat sampai akhirnya aku menyadari lagu dansa sedang diputar.

Aku tersenyum dan menerima tangannya. Dia memegang pinggangku dan menarikku lebih dekat kepadanya. Kami berdansa mengikuti alunan lagu yang diputar. Saat lagu berganti, aku mengubah posisiku dengan melingkarkan kedua tanganku mengalungi lehernya dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.

"Gen...." bisiknya tepat di telingaku.

Tanpa menatapnya, aku menjawab, "Ya?"

"Kau tau kan kalau aku sangat mencintaimu?"

"Tentu saja, ada apa memangnya?"

Dia tidak menjawab tapi aku bisa merasakan kepalanya menggeleng. Dan tiba-tiba lampu padam.

"AIDANN!!!!" teriakku histeris. Aku dengan spontan langsung memeluknya yang untungnya berada di depanku. Sebut aku berlebihan tapi aku takut kegelapan.

"Hei,hei, tenang Gen. Aku di sini. Aku tidak kemana-mana." ucapnya menenangkanku lalu memelukku lebih erat.

"Kenapa lampunya pa----" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ada lampu sorot yang menyala ke arah panggung. Aku seketika melepaskan pelukan Aidan. Tampak seorang wanita paruh baya dengan biola di atas pundaknya. Dia memainkan lagu "Can't Help Falling In Love" yang sangat populer itu. Aku menonton dengan serius tanpa menyadari Aidan sudah tidak ada di sampingku. Saat aku sibuk mencarinya ke kiri dan kanan, "Genevieve Bladt." Seseorang memanggil namaku lewat mikrofon. Langsung melihat ke panggung, ternyata itu Aidan.

"Gen, terima kasih sudah menemaniku beberapa tahun terakhir, sudah menjadi alasanku bersemangat bangun di pagi hari, sudah menjadi sesuatu yang berharga di hidupku, sudah menjadi sahabatku, menjadi seseorang yang selalu ada bersamaku menjalani roller coaster kehidupan, terima kasih sudah menjadi rumahku."

"Aidan, apa yang kau lakukan?" tanyaku kepadanya tanpa bersuara. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan anak ini. Apa yang ada di pikirannya sekarang.

Dia turun dari panggung dan berjalan ke arahku. Tidak sabaran, aku juga berjalan ke arahnya. Tepat berada di depannya aku langsung mengambil tangannya, "Apa yang baru saja kau lakukan?"

Dia diam membisu. Aku mulai bingung dengan semua yang baru saja terjadi. Sebenarnya ada apa dengan dia, pikirku. Sebab selama yang aku tau, Aidan adalah orang yang tidak suka berbicara di depan banyak orang tetapi dia baru saja melakukannya.

Aidan menunduk sementara tangannya seperti meraih saku belakang celananya. Aku semakin bingung. Sebenarnya ap---.

Tiba-tiba lampu sorot yang mengarah ke panggung berganti ke arah kami. Aku melihat ke atas sekilas. Lampu ini benar-benar terang.

"Genevieve Bladt, aku mencintaimu melebihi aku mencintai diriku sendiri. Tidak ada hal lain yang ingin kulakukan selain menghabiskan hidupku bersamamu." terdengar suara Aidan. Pandanganku dari lampu langsung berpindah ke Aidan yang ternyata sedang berlutut dengan satu kaki di depanku. Dan apa yang di tangannya itu, kotak cincin?, hatiku bertanya-tanya.

"Ai-"

"Maukan kau menghabiskan hidupmu bersamaku? Menikah lah denganku, Gen." sambungnya sambil membuka kotak yang ada di tangannya. Cincin silver dengan mata berlian kecil. Sangat cantik.

Aku tidak percaya ini. Dia baru saja melamarku? Tidak mungkin. Maksudku, bukannya aku tidak senang tapi aku masih tidak percaya. Memang kami sudah berpacaran cukup lama. Tapi tidak tau mengapa aku merasa ini masih terasa terburu-buru. Aidan masih berlutut di depanku dengan ekspresi yang berharap aku akan menjawab 'ya'. Aku melihat ke sekitar. Ternyata seluruh isi restoran sedang menonton kami. Tidak sedikit yang berteriak "Terima!! Terima!! Terima!!"

Aku yang merasa keadaan mendesak diriku langsung lari meninggalkan restoran. Langkah yang bodoh. Pasti Aidan akan kecewa dengan keputusanku yang lari begitu saja tanpa memberi jawaban kepadanya. Saat aku sudah berada di depan restoran tempat kami merayakan hari jadian kami yang ke 4 tahun, aku masih bisa mendengar suara Aidan yang memanggilku. Aku berjalan pelan menjauh sebab aku sudah lelah berlari dengan sepatu hak tinggi 7cm ini. Dan gaun yang kukenakan sangat tidak bisa diajak lari. Tapi aku kalah cepat. Aidan langsung meraih lenganku.

"Gen, kenapa kau lari? Apa yang aku lakukan itu salah?"

"Bukan seperti itu, Ai. Tidak sama sekali. Aku cuma... aku cuma-"

"Cuma apa ,Gen? Kau tadi bilang kalau kau mencintaiku tapi kau malah melarikan diri di momen aku sangat mengharapkan jawabanmu."

"Aidan, aku mencintaimu. Sungguh. Aku hanya merasa ini terlalu terburu-buru. Aku belum siap."

"Gen, apa lagi yang kau tunggu? Kita sudah lama pacaran. Apa 4 tahun masih kurang untukmu?"

"Aidan, bukan itu yang ku maksud. Aku masih mau mengejar mimpiku. Aku tidak mau menyesal di kemudian hari karena mengambil keputusan besar seperti ini tanpa memikirkannya."

"Sudahlah, Gen. Ini sudah larut. Lebih baik kita pulang." ucap Aidan yang sepertinya tidak mau membalas ucapan aku barusan. Aku mengerti dia kecewa denganku. Aku pun memilih untuk diam.

Aku masuk ke mobil Aidan dan dia pun demikian. Selama di perjalanan kami hanya diam membisu. Hanya suara radio yang kedengaran. Aku merasa tidak nyaman dengan kecanggungan ini tapi aku pun menolak untuk berbicara. Aku hanya memandangi jalanan yang basah karena hujan. Tanpa kusadari, kami sudah berada di depan rumahku.

Aku melihat ke arah Aidan dan hendak mencium pipinya tapi dia seperti berpaling ke arah jendela. Baiklah, dia marah.

"Aku mencintaimu, Aidan. Ku harap kau tau itu." ucapku lalu keluar dari mobilnya. Tanpa lama-lama, dia langsung menancap gas. Aku melangkah ke dalam rumah. Seluruh lampu rumah sudah padam menandakan kakakku sudah tidur. Aku menaiki anak tangga lalu masuk ke dalam kamarku.

Melepaskan sepatu dan mengganti pakaianku ke pakaian tidur, aku menghempaskan badanku ke atas kasur. Lelah sekali. Aku ingin tidur tapi pikiranku terus menerus memutar kejadian dimana dia melamarku. Betapa brengsek nya diriku sudah mengecewakannya. Tapi, aku hanya takut aku akan menyesal karena memilih untuk menikah dengannya daripada mengejar mimpiku terlebih dahulu.

Aku mengecek ponselku. Tidak ada panggilan ataupun pesan dari Aidan. Baiklah.

Aku membuka laci meja di samping ranjangku dan mengambil satu pil obat tidur. Aku tidak akan bisa tidur dengan memori yang terus-menerus memenuhi kepalaku. Jadi aku memutuskan untuk meminum obat. Menelan pil dengan air, aku mematikan lampu tidurku, menarik selimut, dan tidur.

GENEVIEVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang