Stop, Dream!
Setelah sepuluh tahun, bibir Alfon kembali merasakan bibir Elsa. Namun, kali ini bukan sekadar menempel singkat atau bertabrakan. Melainkan, saling beradu lembut dalam ciuman. Lebih tepatnya, ketika bibir Alfon bergerak, Elsa membuka mulut, hendak protes. Namun, itu justru membuat Alfon benar-benar kehilangan akalnya.
Alfon menangkup wajah wanita itu, tangan Elsa di bahunya. Detik berikutnya, Alfon terdorong keras dan bangun dari mimpinya. Lagi-lagi mimpi itu. Ini bahkan sudah sebulan! Alfon pasti sudah gila.
Alfon beranjak duduk dan menarik napas dalam. Pikirannya kembali pada pertemuan dengan Elsa sebulan yang lalu, di pernikahan Ken dan Arisa. Seperti di mimpinya tadi, terjadi insiden kecil setelah ciuman dalam yang tak disengaja itu. Elsa mendorong Alfon hingga Alfon nyaris terjungkal ke belakang.
Hasilnya? Tentu ia jadi bahan tertawaan teman-temannya. Alfon dilema untuk menentukan itu dalam bagian kenangan indah atau kenangan buruk.
Alfon menjatuhkan tubuh ke ranjang dan meloloskan desahan berat dari bibirnya. Hampir setiap malam, Alfon memimpikan hal yang sama. Apa itu masuk akal? Tidak. Mengingat itu mimpi macam apa, Alfon mendadak merasa dirinya seperti pria mesum yang hanya memikirkan ciuman. Meski hanya Elsa yang menjadi lawan ciumannya.
Alfon menoleh ketika ponselnya berbunyi. Telepon masuk dari Juan, sekretarisnya.
"Kenapa?"
"Hari ini Bapak ada meeting dengan CEO Hardiwijaya Property yang bertanggung jawab atas proyek X-Point Mall and Residence."
Alfon mengerutkan kening. "X-Point Mall and Residence?"
"Tempat tinggal Bapak sekarang."
Ah, benar. Alfon lupa, ia sudah kembali ke Indonesia untuk mengurusnya. Mungkin ini efek jet lag. Ia baru tiba di sini dini hari tadi.
"Jam berapa meeting-nya?" tanya Alfon. Ia akan tidur lagi sebelum ...
"Sekarang, Pak. Ini sudah jam sembilan." Juan terdengar kesal.
"What the ..." Alfon menahan umpatan dan mencari jam di ruangan itu. LCD jam digital di dinding samping kamarnya tampak menunjukkan angka sembilan. Alfon bergegas turun dari tempat tidur, tersandung selimut dan jatuh tersungkur di karpet kamar dengan menyedihkannya.
"Argh ..." erang Alfon pelan merasakan nyeri di pinggangnya.
"Pak Alfon nggak pa-pa?"
"Nggak pa-pa. Kamu cepat ke sini dan siapin semua yang aku perluin."
"Saya udah nyiapin semuanya dari kemarin, Pak," jawab Juan.
Alfon menutup telepon dan bergegas ke kamar mandi. Ia merasa sedikit pusing karena bangun seperti tadi. Efek jet lag yang parah.
***
Keterkejutan.
Itulah yang tampak dengan sangat jelas di wajah Alfon ketika mereka bertemu. Bahkan mungkin, di wajah Elsa juga. Namun, Elsa segera mengendalikan diri dan memasang wajah tenang.
"Kamu ... CEO Hardiwijaya Property?" tanya Alfon tak percaya.
Elsa mengangguk. "Tapi, kamu ... dari Xavier Holdings?"
"Well, namaku Alfonso Xavier." Pria itu menunjukkan ekspresi aneh ketika menyebutkan itu.
"Aku ... well, sekarang aku ingat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Marry Me (End)
RomancePertemuan kembali setelah sepuluh tahun menjadi awal kisah Alfon dan Elsa. Namun, kisah mereka kini bukan lagi kisah remaja masa SMA, melainkan kisah yang rumit dan berbahaya. Kisah yang melibatkan permainan dengan tantangan. Perjodohan. Pernikahan...