000

584 68 3
                                    

Sinar mentari menyelubungi wajah yang sekarang tengah tersenyum bahagia.

Pria itu sedang berdiri dipinggir pantai, memegang bunga dan cincin di jarinya. Ia menatap bunga ditangannya dan menoleh pada pria disampingnya.

"Kamu menyukainya?"

"Yap..."

Pria itu mengusak rambut si imut. "Aku mencintaimu, Minseok."

"Aku juga, Kim Jongdae..."

•'•'•'•'•'

"Mengapa harus aku?!"

"Kamu pewaris harta ini!"

"Tidak akan! Aku sudah memiliki cinta lain!"

"Kim Jongdae! Ibu juga tidak bisa berbuat apapun! Tinggalkan Minseok demi bisnismu!"

"Aku tidak segila itu!"

Minseok melihatnya dari depan pintu pagar Jongdae. Pria itu sedang bersitegang dengan ibunya sendiri.

Perlahan air mata Minseok menetes. Ia pergi dalam kekalutan.

•'•'•'•'•'•'

"Hey, Minseok?"

"Ah?" Minseok menoleh pada sahabatnya ini. "Mau ke kantin kantor?"

Minseok membereskan barangnya dan bangkit. "Ya, Lu. Tunggu sebentar."

Luhan menunggu Minseok dengan sabar sembari membenarkan outernya, dan menyapa pegawai lain.

"Hai, Sehun."

"Oh, Pagi Luhan."

Pengagum rahasia.

"Luhan? Aku sudah siap." Tutur Minseok menepuk bahu Luhan. "Ayo."

Mereka berdua berjalan beriringan. Mereka adalah dua orang pengurus atau wakil dari perusahaan. Mereka diberi ruangan sendiri untuk kenyamanan mereka. Jika salah satu dari mereka naik jabatan, maka akan menjadi sekertaris pemimpin.

Mereka tidak terlalu tertarik akan hal itu, apalagi Minseok yang sangat menghindari hal itu.

Dalam perjalanan menuju kantin, Minseok menyentuh outer Luhan, "tunggu, ponselku tertinggal. Duluan saja."

Luhan mengangguk dan menaikki lift lebih dulu. Minseok kembali berlari ke ruangannya, mengambil ponselnya. Dan saat ingin keluar, ia terkejut melihat pemimpinnya yang berdiri di dekat pintunya.

"Ruanganmu rapih sekali." Suara berat itu membawa Minseok ke masa lalu bagai ombak di tengah laut, bergelombang.

Minseok memilih diam dan tidak memedulikannya. "Apa yang anda inginkan?"

Pria itu menaikkan alisnya. "Hm? Formal sekali." Jawabnya sambil terkekeh dan menyender di dinding dengan tangan di kedua sakunya.

"Aku akan makan jika anda tidak memiliki kebutuhan."

"Formal tapi tidak sopan. Baiklah. Berkasku." Jawab pemimpinnya itu menadahkan satu tangannya didepan Minseok. Minseok meliriknya dan mengambil berkasnya. "Ini, tuan Kim Jongdae."

Jongdae segera berdiri tegak dan tersenyum jahat, "semoga harimu baik."

Minseok menatapnya tajam, tapi dengan sesuatu yang tertahan. "Semoga." Jawabnya kembali.

Ketika Jongdae pergi, Minseok terengah. Ia tersengal hebat. Ruangan ini dipenuhi semerbak gairah yang dibawa Jongdae. Dan itu cukup memengaruhinya.

Mengambil nafas dalam dan menghembuskannya kasar. Minseok segera berjalan keluar dengan kakinya yang lemas.

Masa lalu memang harus dilupakan. Namun bagaimana jika masa lalu itu memaksa kita untuk terus mengingatnya, dan menjadi kunci masa depan kita?

Kunci masa depan memang ada di tangan tuhan, tapi terkadang tuhan 'jahil' dan menjadikan masa lalu sebagai epilog masa depan.

Minseok dan Jongdae mengalami hal serupa. Mereka memiliki masa lalu yang indah, namun berakhir tragis.

Tapi jika memang takdir mempertemukan mereka dalam naskah yang berbeda?

Akankah mereka dapat saling menerima dan mencintai seperti dahulu kala?

•'•'•'•'•'
Aku selalu menutup mataku, kala mereka datang dan memaksaku.
Namun tak bisa kupungkiri, memang itu yang menjadi hidupku kelak.
•'•'•'•'•'

Professor JD!
Kuganti ya:)

Alurnya akan sangat sangat aku ganti.
Dari awal sampe akhir:)

Hope you enjoy~

-ver

Professor JD [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang