susah

104 21 4
                                    

"Woy, inget orang tua udah susah susah ngurusin, anaknya malah kayak gini!"

"Yaelah kayak hidupnya yang paling beban aja."

"Paling cuma nyari perhatian, udah gausah diladenin."

"Hahaha, turun turun!"

"Loncat aja, mati tinggal mati, ribet amat!"

Aku menatap mereka dari atas sini, wujud mereka yang kecil itu semakin buram karena air mataku yang tiba-tiba mengalir. Namun aku hanya tertawa, ini sungguh lucu!

Ada beberapa orang tua yang tengah berteriak memintaku turun dengan suara seraknya, sebagian besarnya memaki dan menyuruhku agar cepat-cepat loncat, sementara sisanya lagi tidak peduli dan tetap melanjutkan perjalanan. Ada juga sekumpulan remaja seumuranku yang sedang mengangkat ponselnya untuk merekam aksiku. Aksi? Lebih tepatnya ini hanyalah tontonan konyol bagi mereka, yang nantinya akan disebar di sosmed, dijadikan bahan tertawa di setiap tongkrongan, dan entah apalagi, aku tidak mau membayangkannya.

Otakku sekarang hanya berisi gambaran bagaimana bentuk tubuhku nanti setelah dihantam aspal dari jembatan layang yang tingginya tak bisa kutaksir.

Coba saja, operasi terakhirku gagal kemarin, transplantasi ginjal. Andai saja, tak ada orang baik yang mau menyumbangkan sebelah ginjalnya padaku. Kenapa ginjalnya cocok denganku? Kenapa tidak mengalami komplikasi atau semacamnya saja? Dengan begitu tentu aku sudah tenang sekarang, tak perlu repot-repot menaiki jembatan menyebalkan ini.

Oh! Atau aku ganti cara bunuh diri? Tapi sudah tanggung, aku sudah direkam, biarlah.

Ibu dan Baba—begitulah caraku memanggil ayahku—, selalu menyalahkanku atas jatuhnya finansial mereka karena biaya hidupku. Terlahir dengan segudang penyakit tak pernah membuatmu dikasihani, pegang kata-kataku.

Dari flu yang membuat hidungku selalu basah, sampai didiagnosis kanker paru padahal aku tak pernah merokok sama sekali. Kalian tahu siapa yang merokok? Si Gading bangsat itu! Asapnya benar-benar menjadi sumber masalah. Kakakku yang menjadi alasan, aku si korban pula yang disalahkan.

Aku pun dikambinghitamkan teman—oh mereka tak pantas untuk disebut teman, maaf—, karena fisik lemahku. Aku tak pernah ikut olahraga, karena jantung lemahku, sehingga hanya mendekam di kelas dengan wajah pucat. Bahkan ketika diam pun aku disalahkan, aku dituduh mencuri uang kas kelas. Katanya, hanya akulah yang berada di tempat kejadian saat itu, tersangka paling kuat tentu dibebankan padaku. Tuhan, sesusah-susahnya aku mencari uang untuk bolak-balik operasi, lebih baik aku menghutang ke rentenir sekalian daripada mencuri. Dan aku dijauhi, hingga sekarang, manusia memang seaneh itu.

Aku memang selemah itu, teman. Aku memang semenyedihkan itu, kawan.

Tapi nyatanya, apa yang kau harapkan ketika terbaring lemah dan tak punya daya? Perhatian dari orang tuamu? Jengukan teman-teman tersayangmu? Ribuan chat dan telpon penuh kekhawatiran dari kekasihmu?

Oh, aku juga ingin, semua orang ingin. Tapi sayangnya, aku termasuk makhluk yang sepertinya memang tak terkabulkan, bahkan untuk permintaan hembusan napas tenang sekalipun.

Aku melirik tanganku yang masih menampakkan luka memanjang yang merah, sekitar sepuluh. Menyentuh punggung dan perutku yang nyeri luar biasa, memar. Aku pantas mati bukan?

Ibu melempar lima piring tuanya yang didapat dari hadiah produk, tepat di kedua tanganku, beberapa menancap, beberapa menggores. Baba dengan kompak membawa selang yang biasa dipakai untuk mencuci motor bekas miliknya, menghantamkannya ke punggungku berkali-kali. Gading? Tak kalah, dia ikut menghantamku dengan stik ps lamanya, entah tak punya senjata lain atau memang dia sedang dalam keadaan tak sadar sebab pesta sabu tiap malam minggu bersama temannya.

Muntah darah di lantai, mereka lirik tanpa ada rasa kasihan.

Mau tahu jargon apa yang selalu mereka katakan ketika menyiksaku?

"Nyusahin! Anak lemah bergantung mulu!"

"Mati aja kamu tu! Nyusahin!"

"Nyusahin!"

"Nyusahin!"

"Nyusahin!"

Berulang kali, setiap hari. Dengan pukulan yang tambah kencang setiap malam, dengan makian yang tambah kasar setiap hantam.

Setiap aku sakit, nenek yang dengan rasa enggannya membawaku ke rumah sakit, hanya untuk meninggalkanku di sana, membiarkan keluargaku menanggung semuanya, hingga aku sedikit pulih, dan mereka menyiksaku, lagi. Ia memilih bungkam, dan berbahagia dengan uang omku, kakak pertama dan adik bungsu dari ayahku. Baba satu-satunya anak lelaki dari tiga bersaudara yang tak punya kehidupan mapan, sehingga nenek tak mau ambil pusing dan ambil peduli dalam masalah kami—atau mungkin hanya masalahku?

Terkadang, aku bahkan dibiarkan di dalam kamar, dikunci dalam keadaan berdarah-darah dan tanpa makan sampai lima hari, bahkan aku tak punya telepon genggam untuk membunuh rasa bosan. Yang bisa kulakukan hanya menatap pisau di atas meja, dan sebotol obat penenang di sebelahnya. Ragu apakah akan mengambilnya atau biarkan saja.

Nilaiku jatuh, hampir dikeluarkan dari sekolah. Juga kasus-kasus lain yang dibuat-buat orang kelas, lalu menaruh segala fitnahnya padaku. Aku tak mengerti.

Lagipula untuk apa hidup bukan? Hanya menjadi samsak, hanya menjadi bibit penyakit yang seharusnya kru televisi mewawancarai si gudang penyakit ini yang anehnya masih hidup sampai sekarang.

Hanya menjadi tekanan bagi semuanya, Hanya menjadi kesedihan yang selamanya tak dikenang, yang selamanya tak dibukukan atau setidaknya diratapi.

Mereka bilang aku harus mati, maka akan masuk surgakah aku jika menuruti kemauan mereka? Bukankah mementingkan kebutuhan orang lain akan mendapat pahala berlimpah?

Mataku menangkap tiga orang dengan baju serampangan yang menelusup kerumunan, mereka baru datang. Tak susah mengenalinya, mereka yang paling bertampang penjahat di antara kerumunan. Aku tersenyum, bukankah akan seru jika mereka melihat tubuh hancurku? Akankah mereka menyesal?

Biarkan aku melihatnya nanti. Aku melemaskan badanku, dan mengangkat kaki kananku, membiarkannya bergoyang-goyang diterpa angin. Aku lelah, Tuhan, aku akan menganggap kematian sebagai keadilan jika kau memberinya kali ini. Tolong, kabulkan, untuk terakhir.

Aku menjatuhkan diriku, tak ada ketakutan. Kelegaan membuatku tetap tersenyum, surga sudah menyediakan tempat untukku bukan?

Iya kan?

Tamat.

If I Killed Myself, What Would They Call Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang