I think i must turn on the mature content for this book HAHA.
----
Neraka bukanlah tempat bersemayamnya para iblis terkejam, pendosa terkutuk dan setan paling biadab. Karena pada kenyataannya, di sinilah mereka semua berkumpul dan menebarkan kejahatannya.
Para manusia tak kenal pengampunan dan rasa bersalah, dipermainkan oleh kepuasan fana, dipecut dengan nafsu, hidup dalam bayang bayang kegelapan yang terus mereka banggakan.
Segala bentuk kebaikan di mata mereka adalah kemunafikan yang nyata, menggemborkan keburukan demi mendapat pengakuan akan lebih menyenangkan dibanding memberi sedikit belas kasihan pada sesama.
Yang lebih mengerikan lagi adalah fakta bahwa para iblis bengis itu mencari objek untuk dijejali apa saja yang mereka percayai, korban korban malang yang digiring menuju jurang kejatuhan dan kematian tanpa tahu apa apa. Tawanan naas itu tak ubahnya robot yang selalu melayani tuannya dibawah ancaman dan rasa takut tiada akhir.
Beberapa berhasil selamat, yang lain hanya tersisa nama, dan sebagian besarnya kembali dengan jiwa kosong.
Termasuk yang manakah aku? Aku belum selamat atau pun binasa hingga kini, mungkin mati rasa adalah kata yang tepat. Aku masih, dan mungkin akan tetap dikurung bersama para monster itu hingga akhir hayat.
Satu-satunya kesalahanku hingga bisa terjebak di situasi ini adalah menjadi terlalu cantik.
Kata mereka aku amat jelita, serupa dengan satu satunya mawar merah yang tumbuh di taman kota. Tapi sayangnya, setajam apapun duri yang kupunya, rasa puas orang lain tak akan pernah usai sampai mereka berhasil memetikku.
Lihatlah siapa yang menderita? Dia yang tangannya terluka terkena duri, atau diriku yang mulai layu dan sekarat karna kelopak indahku diguguri satu persatu?
Salahku yang terlahir dengan postur tubuh molek seperti ini, bahkan di umur yang masih belia kenampakannya sudah cukup berlebihan. Mengapa pula aku tidak meminta agar terlahir di garis keluarga yang terkenal dengan tubuh kurus nan rata saat masih di dalam kandungan.
Salahku yang terlahir dengan kulit cerah bagai rembulan namun bila disentuh terasa lembut bagai bayi. Salahku pula yang telah memasang iris mata biru laut serta bibir penuh berwarna merah muda di wajahku ketika lahir.
Semuanya salahku yang keluar rumah dengan baju berlapis lapis, berukuran jumbo dan berwarna gelap untuk menutupi lekuk tubuh. Meski matahari sedang menguasai langit dan mengundang bulir peluh, kombinasi kaos dan jaket kedodoran tetap menjadi andalanku.
Aku yang berusaha tetap memakai masker padahal toko kue di depan stasiun baru saja menyelesaikan adonannya setiap pagi, aromanya sangat manis namun aku tidak bisa menghirupnya karena harus menutupi wajahku yang katanya akan menggoda para lelaki dan aku akan disalahkan karenanya.
Akulah yang bersalah ketika sekelompok lelaki di tempat parkir supermarket malam itu mulai memanggilku dan bersiul genit. Katanya aku yang menenteng sekantung plastik makanan ringan dengan piyama bergambar kartun kelinci dapat membangunkan sisi kejantanan mereka.
Ketika aku menyadari mereka telah mengikutiku hingga area sepi pemakaman di seberang gang rumahku, itu sudah terlambat. Wajah mereka cukup familiar, bahkan salah satu dari gerombolan itu kukenali sebagai ketua kelasku sendiri.
Sesuatu yang kuhirup dari saputangan membuatku tak sadarkan diri, dan ketika membuka mata ... aku tak sanggup menjelaskannya.
Kulihat dalam penerangan remang, lima iblis sedang menggerayangi tubuhku dengan rakus, dengan suara tawa kejinya ketika melihat mangsanya menangis tidak berdaya. Aku tak bisa melihat setitik pun kemanusiaaan dalam irisnya, meski aku sudah menangis dan memohon agar mereka berhenti, mereka tak mendengarkan teriakan piluku.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Killed Myself, What Would They Call Me?
Short StoryTanyakan pada sekitarmu, bagaimana mereka akan menyebutmu jika dirimu memutuskan untuk bunuh diri. Aku yakin jawabannya tak akan sebaik yang kau pikirkan. 06. 06. 2019 by honestylily