12. Seyana《세야나》

824 117 4
                                    

      

     "J-Jendra? Dia bukannya Seyana? Kenapa?" sambut Jihana pada Jendra yang sedang menggendong seorang wanita. Ia baru saja keluar dari kamar saat mendengar suara mobil Jendra.

       Jendra terkejut kala Jihana dapat mengenali wajah Seyana, lalu menutupinya sedetik kemudian. "Kamu tolong ambilin P3K ya, Na. Ada kan?" ujar Jendra sambil terus berjalan—membawa Seyana ke sofa ruang tamu.

        Jihana mengangguk dan beralih dari sana, mengambil P3K.

       Jendra pun mendudukkan Seyana di sofa. "Dia siapa, Jen? Keluargamu? Aku-kamu gitu. Ini rumah baru? Tante sama Om mana?" tanya Seyana saat ia dan Jendra sudah duduk bersebelahan.

       "Ini rumah pribadi gue. Lo aja aku-kamu mulu sama gue. Dia bukan keluarga gue, dia cal—"

       "Ini P3K-nya."

       Kedatangan Jihana membuat ucapan Jendra terputus. Dan melihat Jendra yang tak melanjutkan, Seyana berasumsi bahwa Jihana bukanlah sosok yang spesial bagi Jendra.

       "Hm." sahut Jendra pada ucapan Jihana. Ia membuka kotak P3K, lalu menyiapkannya. Setelahnya ia pun mulai mengobati luka Seyana. Dimulai dari lutut.

       "Awh, Jendra. Pelan-pelan, perih shh." ringis Seyana kesakitan. Ia bahkan menarik kecil rambut Jendra yang kepalanya sedang menunduk untuk mengobati lututnya.

        Melihatnya, Jihana benar-benar merasa sesak. Ia tahu ia cemburu. Apa Jendra kembali dengan Seyana? Apa karena itu akhir-akhir ini Jendra seakan menjauh darinya? Bukankah Jendra sudah berjanji akan menikahinya?

       Memang, dibanding dengan Seyana, Jihana belum ada apa-apanya di hidup Jendra. Seharusnya dari awal Jihana tahu diri saja, 'kan?

       "Kamu mau minum sesuatu? Mungkin bisa aku bikinin." Jihana memutuskan untuk bersikap ramah pada Seyana, ia tak ingin terlihat begitu canggung.

       "Ah, iya aw-aw! To-tolong, ya. Aku mau orange juice." jawab Seyana sambil sesekali meringis saat Jendra menekan lukanya yang ada di lengannya. Wajahnya begitu dekat dengan wajah Jendra. Dan Seyana bohong kalau ia bilang biasa saja, ia sangat senang.

       Jihana akan mengiyakan sebelum, "Kasih dia susu yang sudah ada di kulkas aja, Na. Yang full cream." ujar Jendra tanpa menoleh pada Jihana, karena masih difokuskan dengan luka Seyana.

       "Eh? Tapi Se—"

       "Nggak usah buat orange juice segala, buat ribet. Kasih susu aja." ulang Jendra dengan nada yang tak mungkin Jihananbantah.

        Tanpa harus disuruh dua kali, Jihana melesat ke dapur. Menyiapkan gelas dan mengeluarkan susu kemasan punya Jendra dari dalam kulkas. Tina hafal betul kalau Jendra suka minum susu kemasan, karenanya ia mengisi kulkas dengan berbagai rasa susu kemasan.

       Suara susu yang mengalir terdengar begitu jelas di telinga Jihana. Ia memperhatikan setiap susu yang ia tumpahkan.

       Jika boleh Jihana berkata jujur, pikirannya benar-benar sedang kacau. Berawal khawatir saat Jendra berangkat tanpa pamit, bingung bagaimana ia harus memulai untuk tidak menyusahkan Jendra dan mencari pekerjaan,  namun belum selesai semua itu, ia melihat Jendra datang dengan menggendong sang mantan—atau mungkin sudah kembali—pacar.

       Mengembuskan napas berat, mewakili seberapa berat pikirannya, Jihana beranjak dari dapur. Membawa susu untuk Seyana.

       Tubuh Jihana bergetar hebat saat melihat pemandangan di depannya. Jendra membelakanginya dan sedang mencium Seyana yang memejamkan mata.

       Prang! Bunyi pecahan dari gelas yang dibawa Jihana membuat Jendra tersentak. Ia segera membalikkan badannya dan melihat Jihana yang juga tersentak.

       "Akan aku bersihkan nanti. Maaf mengganggu, kalian lanjutkan saja berci-ciumannya." ujar Jihana sebelum melarikan diri menuju kamarnya di lantai atas.

       "Ciuman?" Seyana bertanya-tanya heran. "Siapa yang berciuman?"

       "Dia pasti salah paham waktu gue ngobatin pelipis lo." jawab Jendra sebelum ia ikut lari menyusul Jihana.

       "Ya elah sendirian gue. Tunggu atau pulang aja, ya?"

       Saat Seyana sedang berpikir jalan apa yang harus ia ambil, Jihana sedang menangis di kamarnya. Sampai-sampai ia lupa menutup pintu. Membuat Jendra dapat dengan mudah menghampirinya, memeluknya yang hanya terduduk di tepi kasur.

       "Na, aku mohon jangan nangis. Aku udah janji sama diri aku sendiri untuk nggak biarin kamu nangis lagi. Tapi sekarang... Na, jangan nangis aku bisa jelasin. Semua permasalahan ini, aku bisa jelasin dan minta maaf." Jendra panik melihat kesayangannya menangis lagi karena dirinya.

       Jihana melepaskan diri dari pelukan Jendra. Ia mengusap air matanya. Lalu menatap tepat di mata Jendra. "A-aku sudah hiks ngerti, kok. Aku bukan apa-apa kalau dibanding hiks Seyana. Dia perempuan yang sangat kamu cintai kan? Aku hiks aja yang terlalu percaya diri udah berpikir bisa jadi istri kamu, Jen. Mungkin aku memang harus pulang ke rumah aku." jawab Jihana yang semakin membuat Jendra marah pada dirinya sendiri. Sesalah itu kah dia sampai Jihana berpikir demikian?

       Ekspresi muram terlihat jelas di wajah Jendra. "Pulang sana. Sekarang." dan sepertinya Jendra memang sudah gila.

       Jihana terkejut mendengarnya, namun tersenyum pedih kemudian. "Aku telepon paman dulu baru aku packing." ujarnya memberi laporan pada Jendra.

       Ia merogoh kantong celananya untuk meraih ponselnya. Menelepon nomor pamannya dengan mudah. Karena pamannya berada di nomor satu untuk panggilan cepat di ponsel Jihana.

       Mendengar suara telepon yang disambungkan, Jendra tak habis pikir. Apa Jihana serius?!

      Prang! Mendengar bunyi lemparan kaca—lagi—membuat Seyana yang sedang bermain ponsel terkejut. Apa Jendra dan Jihana bertengkar? Kenapa? Siapa Juhana? "Mending gue pulang deh, ntar gue chat si Jendra aja buat bilang makasih."

       Jihana segera mematikan sambungan telepon saat Jendra melempar vas bunga yang berada di kamarnya ke dinding. Tak tahu sejak kapan Jendra berdiri untuk meraih vas bunga.

       "Kamu pulang aku bakal goresin kaca ini." ujar Jendra. Tangan kanannya memegang pecahan vas bunga yang ia dekatkan pada denyut nadi tangan kirinya.

       "Jangan!" Jihana otomatis menepis kasar tangan kanan Jendra sampai pecahan kaca tersebut lepas. "Kamu gila?! Jangan berlebihan!"

       "Iya! Aku memang bakal gila kalau kamu sampai beneran pergi! Karena aku bahkan udah bersumpah akan ngorbanin diri aku ke kamu! Kalau kamu pergi, terus aku harus gimana?!" balas Jendra frustasi. "Na, ayo kita omongin semua baik-baik. Kamu jangan langsung pergi. Kamu tahu betapa berharganya kamu buat aku sekarang. Aku mohon, Na." ujar Jendra lirih. Ia benar-benar dibuat lelah dengan masalah ini.

       Jihana yang merasa bersalah segera menarik Jendra ke pelukannya. Membiarkan Jendra bersandar padanya dan ia bersandar pada Jendra Mereka sama-sama belum terbiasa berhadapan dengan masalah.

       "Na, kamu tahu. Selain ke orang tua, aku cintanya sama kamu. Cuma kamu. Bukan Seyana."

       "A-aku juga."

■■■
Apa ini, ya ampun?!
DRAMA BANGET

18 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang