❝Kamu mau minum? Biar saya bikinin.” tawar Jihana pada tamunya yang baru saja selesai menyusun baju-bajunya—hanya baju karena ia tidak dibawakan apa-apa lagi—di kamarnya.
“Hm.” jawab Jendra, sang tamu, dengan singkat.
Ia kesal, bukan pada Jihana! Tapi pada papanya yang memilihkan tempat aneh. Jendra tahu dia dipindahkan ke suatu desa, tapi mengapa di rumah biasa yang hanya memiliki satu kamar seperti ini? Mengapa hanya dengan Jihana yang tinggal sendiri? Apalagi Jihana adalah perempuan! Memangnya dia bisa mengurus rumah sendirian? Mengurus Jendra?
“Jendra, ini saya bikinin teh. Maaf ya hanya teh, karena selain susu, saya hanya menyimpan teh.”
Segala pemikiran Jendra lenyap begitu saja saat mendengar sura lembut Jihana.
“Ah, iya.” sembari Jendra meminum teh tersebut, ia memperhatikan penampilan Jihana.
Rumah Jihana meski kecil dan berdinding kayu, benar-benar terlihat bersih. Kursi dengan busa tipis yang ia duduki pun bersih, juga tentu saja penampilan Jihana. Rambut kecoklatannya yang sepertinya karena matahari, tetap terlihat halus. Juga baju biru muda lengan panjang serta celana bahan warna soft brown yang dikenakannya terlihat sangat cocok dengan kulit putih bersihnya.
Jendra menyudahi acara minum dan memperhatikan Jihana diam-diam tersebut. Ia tersenyum canggung ke arah Jihana yang tersenyum ramah ke arahnya.
Jendra meletakkan cangkirnya. “Kalau gue di kamar lo, lo di mana?” tanyanya. Ia penasaran, apa Jihana akan tidur bersamanya?Papanya telau mengancam akan tidak mengakui Jeno sebagai anaknya lagi kalau Jeno akan macam-macam pada Jihana. Tapi, kalau Jihana baper bagaimana? Jendra 'kan ganteng.
Rupanya Jendra terlalu banyak berpikir.
“Saya bisa tidur di kursi ini. Karena bagaimanapun kamu itu anak dari bos pamanku. Pamanku juga yang memberikanku modal untuk rumah ini, jadi aku harus melayanimu dengan baik.” jawab Jihana.
“Gue ke sini untuk belajar hidup tanpa pelayanan, Jihana. Karena itu harusnya gue nggak tidur di kamar lu. Ya, walau gue juga nggak mau tidur di kursi.” balas Jendra dengan intonasi pelan di akhir kalimat.
Jihana terkekeh mendengarnya. “Tidak apa, Jendra. Kamu bisa tetap tidur di sana. Tapi kamu tetap harus bantu aku bekerja, anggap aja itu gaji dariku.”
Jendra mencebik. Apa-apaan? Ia digaji hanya dengan kamar itu? Tapi, itu lebih baik karena peraturan papanya, ia tidak boleh menerima uang sepeser pun dari Jihana. Entah apa maksud sang Papa menyiksanya seperti itu, Jendra masih belum mengerti.
■■■
KAMU SEDANG MEMBACA
18 Days ✔
Fiksi Remaja、、⸙ 。Ketika Jendra yang merupakan remaja kota diharuskan tinggal di desa dengan perempuan bernama Jihana. 「Juni 9, 2019」