LoD - 2

85 5 0
                                    

Rissa tersenyum manis tapi terlihat menyeramkan secara bersamaan. ''Hai,'' sapanya lagi kepada Davira. ''Apa gue melewatkan sesuatu?''

Davira mengalihkan pandangannya pada cutter yang masih di tangannya. Benda itulah saksi mati betapa Davira kecanduan untuk menyakiti dirinya sendiri guna meringankan rasa sakit di hatinya. Begitu besar beban yang menghimpit dadanya tanpa perasaan.

Dan kini hal tersebut menjadi bahan olokan Rissa. Sosok itu seakan menertawakan kerapuhannya.

Rissa tentu saja tidak nyata. Sosok lain yang tengah berbicara dengan Davira itu hanya ada di pikirannya saja. Davira mengidap skizofrenia sejak beberapa tahun yang lalu, dan halusinasi merupakan salah satu gejala dari skizofrenia.

Rissa adalah makhluk tidak nyata ciptaannya. Nama Rissa pun diambil dari nama belakang Davira.

''Lo nyilet lagi?'' Rissa kembali bertanya ketika Davira tak kunjung membuka suara.

''Ya ... seperti yang lo lihat.'' Davira memperlihatkan pergelangan tangan kirinya yang terluka. Lalu ia mengembalikan cutter di tangannya di meja belajar dan kembali berhadapan dengan Rissa.

''Lo kok makin pendiem gini sih? Gak seru banget. Lo bisa ditinggal Damian kalau nggak asik begini. Lo mau?'' dari ucapannya tersebut, sepertinya Rissa terbentuk dari rasa takut Davira yang ia coba kubur dalam-dalam. Ketakutan-ketakutan yang semakin ia kubur dalam-dalam, akan semakin menghancurkannya tanpa disadari.

Sedikit-banyak ucapan itu mempengaruhi Davira. Bayangan Damian yang meninggalkannya membuatnya terusik. ''Damian ninggalin gue, sama aja gue mati saat itu juga.''

Damian merupakan satu-satunya alasan terkuat untuknya bertahan dan tidak mengambil keputusan nekat, seperti bunuh diri misalnya. Tak ada yang bisa ia harapkan dari hidupnya semenjak orang tuanya bercerai.

Ayahnya lebih memilih wanita selingkuhannya, keluarga besar selalu membanding-bandingkan dirinya dengan para sepupu, serta Mamanya yang setia menghakiminya dengan alasan-alasan yang tidak bisa ia terima, namun ia memilih bungkam dibandingkan melawan.

Hanya Damian yang ia punya saat ini, hanya cowok itu yang bisa mengerti dirinya dengan baik. Cowok yang mengetahui seluruh rahasianya namun masih setia bertahan di sisinya. Bagi Davira, Damian adalah segalanya.

''Hahaha ya, gue jelas tahu itu. Terus gimana? Ada kabar baru yang seru?'' kabar baru yang seru? Davira mempekirakan berita soal Diana yang menusuknya dari belakang merupakan kabar yang disukai Rissa.

''Diana nuduh gue ngerebut Bayu dari dia.''

''Diana? Temen satu ekskul lo itu?'' Davira mengangguk. ''Hahaha si tolol itu bener-bener nggak tahu diri banget ya. Udah banyak dibantuin malah begini balesannya. Terus lo gimana? Jangan bilang lo bakal diem aja dan nggak balas dendam sama sekali.''

Davira tersenyum, namun tak sampai matanya. Seolah banyak yang mengganggu pikirannya saat ini. ''Balas dendam? Tentu, gue mau.''

''Terus?'' Rissa menaikkan sebelah alisnya, menatap Davira yang sepertinya kehilangan semangat.

''Cara yang gue pikirin buat balas dendam adalah benar-benar nikung Diana, seperti yang dia tuduhkan ke gue.''

''Itu ide yang bagus. Gue suka.'' Rissa tertawa keras ketika menyadari sesuatu. ''Tapi Damian ngelarang lo, kan? Bener-bener cowok posesif, gue suka. Hahaha.''

Suka? Jika Rissa saja menyukai Damian, begitu pula dengan Davira. Ia bahkan mencintai cowok bernama lengkap Damian Shaquille tersebut. Davira mencintai sahabatnya sendiri.

Rissa memandang Davira tertarik dan akhirnya kembali bersuara, ''Gue tahu lo juga suka Damian. Atau bahkan cinta? Iya, kan? Tapi bangunlah Tuan Putri. Damian selalu ada di sisi lo itu cuma karena kasihan aja. Nggak lebih dan nggak kurang.''

Live or Die [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang