2.

9.4K 1.4K 56
                                    

Orang nggak jadi kaya kalo makan di resto tanpa menghitung tax and service
ーFerlitaー

Siang yang indah menikmati dunia, pastinya tanpa embel karyawan. Weekends gitu loh. Ferlita dan aku menghabiskan akhir pekan di mol. Benar-benar ya ruang rekreasi di Jakarta terbatas kata mol dan kafe. Mau bagaimana lagi, Jakarta yang kami kenal itu panas, panas, dan super berpolusi. Menjelajah kota tua, museum, dan taman kota bukan pilihan yang menggoda jiwa. Wisata air tanpa pasangan pun kurang meningkatkan adrenalin. Auw, Ceri, kamu nackal!

"Mau makan dimana?" Tanyaku pada Ferlita yang bolak-balik mengecek hape.

"Di situ pakai OVO cashback 20 persen, gue mau cek terms-nya dulu." Ferlita menyongsong banner yang terpajang di depan kafe ala bento. "Ceri, sini."

Kami sudah berkeliling mol ini mengikuti keinginan Ferlita mencari tempat makan yang menawarkan promo paling besar. Hapenya bukan sembarang hape. Di situ ada aplikasi OVO, Dana, Sakuku, Bluepay, Gojek, dan macam-macam lagi. Dia pecinta cashback, promo, dan voucher. Kartu kredit pun masuk dalam koleksi dompet yang setia dibawa. Obsesinya besar untuk belanja memakai moda pembayaran kekinian. Sampai-sampai Ferli nggak menyimpan banyak uang cash, sebut saja hanya delapan ribu di dompet.

"Yang ini ngasih cashback gede. Maksimum 30 ribu per akun. Mau nggak?"

"Makan bento?" Tanyaku sukar percaya. Helooo, kami jauh-jauh ke mol dan ujungnya makan bento. Padahal ada tempat steak enak dan pasta juga. Lidahku butuh yang lebih besar sensasinya. Kemudian aku berkata, "Oke deh." Selalu Ceri yang baik hati mengalah agar drama cashback ini berakhir dan kami bisa makan siang segera.

"Adek bos lo sudah join di kantor?" Pertanyaan Ferlita mengembalikan ingatanku pada kehebohan sore itu pas Mas Izhar mengatakan bos maha benar menyuruhku lembur agar bertemu adik kesayangannya. Demi apa, aku yang panik terpaksa panggil jasa kebersihan Mpok Isnaーlangganan membenahi rumahku. Mpok Isna kaget diminta membereskan kantorku tapi setelah nego yang hasilnya aku menjerit kesal pada bayaran yang disepakati, Mpok Isna mau membersihkan ruangan calon Ratu. Itu pun masih dapat bantuanku agar lekas selesai. Begitu sore tiba, berlalu hingga malam, dan berujung aku pulang setelah mengirim email ke bos maha benar.

From: ceria.fitri@markpeople.com
To: argaditya@markpeople.com
Subject: pukul 9

Malam, pak. Adik Bapak tidak datang sampai jam segini, jadi saya pamit pulang. Terima kasih.

"Belum. Kata Mas Izhar yang tahu dari bos, adeknya sakit. Jadi masuknya ditunda sampai sembuh."

"Kapan sembuhnya?"

"Masa bodo, Fer. Gue nggak mau urusin bayi kaya gitu. Lebay banget pelayanannya. Kalo kakaknya miring gitu, besar kemungkinan adeknya juga sama miring."

"Nanti berkawan dekat, hayoo..." goda Ferlita.

Aku ogah menanggapi candaannya. Dalam sejarah masyarakat ibukota, pertemanan beda kasta itu mungkin. Iye, mungkin. Tapi nggak di kantorku. Menilik segimana bos besar kami yang lebih senang menginfokan apapun melalui telepon ke Mas Izhar telah membuktikan bahwa kasta itu berlaku. Mas Izhar lulusan London Imperial, beda tipis sama bos yang menyandang gelar dari Cambridge. Lah aku hanya sarjana dari universitas yang terakreditasi B di dalam negeri. Tolong, kasta mungkin nggak tercatat di KTP, pada kenyataannya kasta itu berlaku.

"Biar mood lo baik lagi, gue kasih ini." Ferlita menyodorkan selembar voucher Carrefour nominal 50 ribu.

"Gue pasti murahan banget ya sampai mendadak good mood karena kartu ini," ucapku sambil mengambil voucher Ferlita.

"That's how people live in town, darling. Orang nggak jadi kaya kalo makan di resto tanpa menghitung tax and service. By the way, gue suka ambience resto ini. Berasa youth and cheerful gitu. Kalo punya pacar, gue harus ajak ke sini."

"Makanannya sesuai nggak sama pacar lo itu?"

"Nah, pacar yang baik adalah yang menyesuaikan lidah mereka dengan pasangan."

"Noted, menyesuaikan ya, bukan memaksakan."

"Kalo nggak kuat, tinggal komunikasikan. That's how we use our mouths. Honestly, I use my mouth to serve my boy."

"Eyuuuh, Fer. Jangan ngomongin begituan. Gue mau makan."

Ferlita terbahak, seolah apa yang tadi dia senggol itu topik yang menyebar di sepanjang pinggir jalan. "Come on, darling, lo cuma perlu sekali merasakan sentuhan sayang dari lawan jenis. I granted it, you'll love it badly."

"Merci bien, Fer. Gue akan tetap menolak."

"Walau lo cinta banget sama cowok itu?"

Aku terdiam. Bukan satu kali aku mengalami ditinggal cowok yang sedang pedekate denganku gara-gara aku menolak skinship melebihi pegangan tangan. Mereka pikir aku kolot dan membosankan, bukan khas wanita kota besar yang paham caranya pergaulan bebas. Jika aku sampai jatuh pada pria yang menganut cinta mesti lewat skinship, bagaimana nasib hatiku? Aku tak tahu. Aku akan berpegang pada kepercayaan untuk nggak memberikan kunci hati pada pria sembarangan.

"Gue akan tolak, Fer. Kalo dia cinta gue, dia akan menghormati keinginan dan prinsip gue soal berhubungan. Kalo yang dia butuh hanya badan, ada jutaan cewek di luar sana yang memenangkan kompetisi cewek hot. I'm out of the league."

Ferlita mencondongkan badan, mengurangi setengah jarak kami yang terpisah meja. "Gue rasa lo butuh cermin super besar, Cer. Cuma cowok bego yang nggak menyadari kecantikan cewek chubby satu ini. Lo akan jadi ikan segar yang menggoda buat kucing-kucing kelaparan."

"Nggak usah repot membesarkan hati gue. Lihat sendiri, gue jomlo sejak lahir. Cowok datang dan pergi hanya sampai level pedekate. Mereka mundur karena sadar gue nggak semenarik apa yang lo bilang."

"Makanya gue sebut cowok-cowok yang deketin lo kemarin tuh bego."

"Kalo yang berikutnya mendekat masih mentok di level pedekate, gue akan pasang status cowok bego bye. Does it sound amazing? Gue akan menarik banyak perhatian netijen."

"Belas kasihan?"

"Semacam itu dan sedikit bumbu narasi agar mereka tergugah bikin panji pembela hati Ceri."

"Such a dramatic script. Kasih tahu gue kalo lo mulai menjalankan ide kekinian lo itu."

"Ide kekinian?"

"Yup, sangat kekinian. Apa-apa status, apa-apa kasih narasi yang mengarahkan opini publik. Duh, cemen banget. Nggak heran program KB dan imunisasi wajib digencarkan. Generasi sekarang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Mau membesarkan negeri dari level berbunga ke level pabrik, susahnya minta ampun karena penduduknya berjiwa cilok dan cireng."

Aku terbahak akan ocehan Ferlita. Jiwa patriotnya tinggi, berbanding terbalik aku. Katanya sering jelajah negeri orang akan meningkatkan rasa nasionalisme, mungkin itulah penyebab Ferlita memiliki kecintaan pada tanah air melebihiku. Well, saya kan belum pernah menginjakan kaki ke negeri seberang. Lintas laut ke pulau tetangga yang masih masuk daerah ibukota saja nggak pernah, makanya otakku dipenuhi topik isi perut dan isi rekening doang.

Sungguh receh.

###

28/03/2020

Gw baca ulang naskah ini dan mikir 🙄 ini kaya tulisan gw, tapi kayak bukan gw yang nulis. Kenapa ya? Ada yang bisa kasih pencerahan..

How Could I Possibly Go Wrong?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang