Siapa bilang kerja kantoran di Jakarta itu oke?
Yang oke itu penampilannya. Rekening kering dan penyakit mag adalah realitanya. Yang tampak keren karena pakai setelan kerja, hengpon eipon, dan posting lagi kongkow di resto instagramable belum tentu aslinya serupa dengan yang ditampilkan. Aku adalah bukti nyata. Pakaian masih semriwing wangi parfum, tetapi ubun-ubun sudah menyemburkan asap hitam yang mengalahkan motor cewek yang belum pernah diperawanin di bengkel setelah setahun dibeli.
"Cer, lo pucet banget. Mau istirahat?" Tata, yang biasanya sering terlambat membaca ekspresi rekan kerja, memandangku khawatir.
Aku tersenyum kecut, lantas menunjuk ke monitor komputer Tata dengan telunjuk agak bergetar. "Lo yakin si bos benar-benar manusia? Yang kayak gini nggak mungkin termasuk jadwal kerja manusia, kan?" tanyaku sarkas.
Tata mendesah. "Gue juga mikir begitu. Bos pasti jelmaan malaikat yang bertugas memberikan rezeki ke orang-orang." Kemudian dia berubah mode ala wanita yang terjangkit virus wotpod. Itu loh virus yang membuat otak diisi khayalan tentang pria super ganteng berhati baik dan luar biasa kaya.
Aku melengos jengkel. Jelas-jelas ucapanku nggak mengarah ke situ. Aku butuh seseorang yang akan berpihak padaku untuk menjelekan bos rada-rada. Bertukar makian tentang atasan itu salah satu stress relief di kantor, tapi nggak asik banget saat rekan yang aku pancing malah menendang umpanku lewat pujian tentang si bos. Lagian mana ada manusia normal yang kerja segila Aga. Aku melirik jadwal kerja Aga yang masih ada di monitor. Manusia itu memenuhi jadwalnya dengan meeting sama ini, itu, sana, sini, sono via video meeting dengan jeda tiap meeting cuma lima menit. Ke toilet, cuma sempat melorotin celana, sudah masuk jadwal meeting yang lain. Terus dia juga mencantumkan deadline setiap laporan yang harus sampai di dia dan laporan yang harus selesai dia periksa beserta nama pengirim dan penerima. Gila sih kalau manusia ini sampai nggak tajir melintir dengan ritme kerja yang cocok untuk menumbalkan diri ke kuburan sendiri.
"Mereka itu siapa?" Aku menunjuk deretan nama yang muncul di jadwal video meeting Aga. Nama-nama yang asing buatku. Sebenarnya, aku hampir nggak tahu dengan siapa-siapa saja perusahaan ini berelasi. Yang aku tahu, gajianku setiap tanggal 28 dan cut off lemburan di tanggal 10 setiap bulan. Selain itu, telingaku hanya menjadi ladang sampah curhatan Tata dan yang lain-lain saat membahas betapa baj!ngan klien-klien kantor tanpa pernah ingat siapa nama klien yang mereka sebut.
"Oh, mereka ini ada yang investor. Ada juga yang debitur. Yang ini lagi menawarkan Aga investasi di perusahaannya." Tata menunjuk salah satu nama.
"Apa gue harus hapal dan tahu siapa-siapa mereka?"
"Kalo sifat kerja lo terkait kantor sini, seharusnya nggak perlu. Karena mereka ini ada di usaha lain bos. Tapi lo tetap perlu tahu jadwal dia supaya nggak tumpang tindih pas kantor perlu kehadiran dia atau something urgent."
Aku mengerang sembari menyandarkan punggung ke kursi. Semalaman aku mencari tahu apa itu tugas asisten di internet. Beragam artikel aku baca sampai ke fesbuk orang yang curhat betapa meradangnya dia menjadi asisten seorang boswati. Asisten yang harusnya berkecimpung mengurus pekerjaan kantor malah disuruh jemput anaknya boswati sampai belanja pembalut padahal pas awal sign kontrak, si asisten ini tidak diberi tahu harus mengurus kebutuhan pribadi boswati. Aku bisa melihat diriku di masa depan yang akan merasakan penindasan itu kala posisi baruku tidak mempunyai kewajiban kerja yang jelas as if everybody knows how to work as an assistant and I am the only one don't know.
"Kerja sama bos pasti gampang. Dia nggak pernah resek. Paling ngomel dikit kalo telat ngumpulin laporan and it's normal."
Aku sangsi pada ucapan Tata. Bukannya aku menuduh dia bohong. Hanya saja, firasatku mengarah ke sebaliknya.
"Ceri!" Ratu lebah muncul dari pintu masuk suite kantor. Kedua tangannya dipenuhi tas kertas warna oren yang membuat mataku dan Tata silau.
"Ya, Bu?" Tata menyikutku, mendesiskan peringatan, maka aku segera mengoreksi diri, "Selamat pagi. Cantik banget hari ini, Bu."
Aku dan Tata mempelajari pentingnya basa-basi bertabur gula setiap bertemu adeknya bos rada-rada. Sebagai cungpret, kami perlu siaga terhadap siapa-siapa saja yang memengaruhi evaluasi performance tahunan yang berdampak ke bonus akhir tahun dan promosi. Tanda-tanda Queen yang bakal menjadi penilai belum terlihat, tapi kami tetap perlu bersiap diri. Daripada telat memulai serangan cinta ke atasan, mending duluan tebar kasih.
"Thank you. I got my new haircut at my friend's salon. What you think?" Queen menurunkan tas-tasnya, lalu menyisir rambut di bahunya hingga ujung menggunakan tangan.
Aku nggak menemukan perbedaan sebelum dan sesudah mbak lebah motong rambut. Dia masih mempunyai rambut panjang yang bergelombang di sisi bawah.
Yang mananya yang berubah?
"Look fresher," komentarku dusta. Dengan mata sudah membelalak, aku tetap belum menemukan perbedaan rambut baru dan rambut lama Queen.
"See! I know you'll notice it. Ha. I was mad pas Mas Aga bilang my haircut sama. Jelas-jelas ini beda. Rambutku lebih pendek dua senti."
Aku dan Tata saling lirik. Di balik mulut terkunci, kami bertukar pesan rahasia lewat bathin.
"Memang cuma sesama cewek yang bisa paham rambut. Next time, kita bisa datang ke my friend's salon. It's a good place. You'll love it. Kamu juga, Tata."
"Makasih, Bu. Kalau salon Bu Queen pasti bagus. Tapi kenapa dipotong cuma dua senti?" sahut Tata. Nada bicaranya dibuat-buat tertarik.
"Yah, you know, it just opened. I couldn't let them cut my hair too short. Aku nggak mau menyesal kalo hasilnya jelek. But I'm impressed. They did it well. Really really well."
Aku nggak bisa membayangkan betapa tersiksanya mbak yang memotong rambut selama melayani Queen. Potong rambut dua senti seperti bersin yang nggak jadi, menurutku.
"Oh! I need your help, Ceri." Queen mengetukan telunjuknya yang lentik dan bertambah cantik dengan kuku berlapis kuteks oren bergeliter.
Aku kehilangan fokus sesaat akibat kuku tersebut, baru menyahut, "Ada apa, Bu?"
"I brought something wrong. I'd bring it back to home, but Mas Aga bilang titip ke kamu. Hari ini kamu harus ke tempat Mas Aga," jawab Queen.
Aku tercengang. "Saya disuruh ke rumah Pak Aga? Buat apa, Bu?" Aku ingat semalam Aga hanya menugaskan aku mempelajari jadwal kerjanya. Bukan ke rumahnya.
"Mas told me, dia emang belum ngasih tahu kamu buat datang ke rumah. Tapi dia butuh kamu datang ke sana. Sekalian kamu antar barang yang aku bawa." Queen menyerahkan tas laptopnya yang berwarna hitam. Aku menerima tas itu setengah linglung.
"Ah, mumpung kamu mau datang ke rumahku, bisa sekalian bawakan ini ke rumah?" Queen tersenyum dengan kedua tangan merentang pada tas-tas kertas oren di lantai.
Aku menurunkan pandangan, tersenyum kosong, dan hati dongkol. Belum apa-apa, aku sudah melihat ada seseorang yang punya bakat 'merundung tanpa sadar'. Tata memberiku tatapan usil. Aku nggak perlu membuka batok kepalanya untuk melihat isi pikirannya saat ini.
"Gimana, Cer?" Queen bertanya. Matanya membesar dan berbinar penuh harap.
Apa yang bisa cungpret harapkan saat ini? Menolak permohonan bos baru memakai alasan sendi pada jari-jariku encok? Atau pura-pura pingsan supaya bebas dari tekanan mental membawa tas-tas oren dari rumah mode kelas atas karena aku tenteng di bus TransJakarta?
"Bisa, Bu." Sekali cungpret, tetap cungpret. Apalah daya aku ini yang hidupnya masih butuh gajian dan tengah mengejar KPI bagus demi bonus tahunan.
###
16/02/2023
KAMU SEDANG MEMBACA
How Could I Possibly Go Wrong?
ChickLitCeria harusnya tahu ruangan kramat Bos Maha Benar jangan pernah disentuh. Apalah daya dan kuasa seorang Ceri jika bos nomor duaーlet's say adik kandung bos besarーyang memerintahkan perombakan itu. Satu kali re-decorate, kelar hidup Ceri. "Please, ja...