8.

1.2K 257 29
                                    

"Lo jadi PA Aga? Terus gajian kita gimana?" Tata memikirkan gajinya alih-alih nasib sohibnya yang nggak jelas.

Aku menumpang wajah pada dua tangan yang menyiku di meja. "Tetap gue yang ngerjain," jawabku cemberut.

"Gue heran kenapa Aga butuh lo buat 'menjembatani' dia dan kantor?" Mbak Kayla membuat tanda kutip menggunakan telunjuk dan jari tengahnya. "Dia udah biasa kerja berjarak ratusan ribu kilometer dari kantor. Normalnya, dia bisa tetap menerapkan sistem kerja jarak jauh yang biasa tanpa perlu lo dijadikan asisten. Apalagi ada Queen yang stay di kantor. Pekerjaan Aga sekarang cuma sebatas meriksa laporan."

"Salah, Mbak," Tata menyela. "Bos Aga udah bikin plan kerja sampai akhir tahun depan. Queen masuk untuk jalani rencana dia, well, itu kalo bener Queen kerja."

Mbak Kayla memijat pelipisnya. "Pantas Queen lebih sering sibuk haha hihi di telepon. Ternyata pekerjaan yang dia limpahkan ke gue itu sumbernya dari Aga. Firasat gue sempat jelek pas dia cepat banget udah dapat proyek baru. Hebat banget, masih muda, baru jadi bos, dan udah bisa bikin rencana kerja lumayan detail."

"Gue tahu ini udah lama, Mbak. Bos Aga minta Mas Izhar cek kontrak klien. Terus gue disuruh hubungi beberapa orang dari perusahaan yang belum pernah kerja sama. Kebetulan Mas Izhar ninggalin notebook di meja gue. Posisinya kebuka. Gue nggak ngintip, cuma baca bagian yang kebuka. Dari situ gue tahu rencana pak bos," ungkap Tata tanpa rasa bersalah.

Aku nggak memedulikan obrolan Tata dan Mbak Kayla selanjutnya. Pikiranku melayang pada ucapan Mas Izhar tadi pagi yang intinya, mau nggak mau aku pasti dijadikan asisten sementara pak bos rada-rada. Berani nolak, bisa-bisa aku didepak. Hidupku masih dibebani kebutuhan makan dan bayar hutang. Aku nggak bisa senekat itu menolak keras keputusan atasan. Jiwa cungpretku masih menggenggam prinsip 'mau makan kudu nurut atasan'.

"Pak bos tuh." Tata yang duduk di sebelahku menepuk-nepuk bahuku histeris.

Aku menepis tangannya dan menoleh ke arah perhatiannya tertuju. Di depan resto tempat kami makan, Aga melintas. Bulu kudukku menegang saat dia melirik sekilas. Rasanya mata kami bertemu. Namun aku menggeleng. Nggak mungkin, tolakku membathin. Meja kami ada di tengah, lumayan jauh dari depan resto. Selain itu, suasana resto lumayan ramai.

Aku menunduk, berpura-pura sibuk mengaduk lamian yang sudah dingin, demi mengenyahkan firasat jelek yang mendadak nongol. Hatiku dipenuhi doa-doa semoga firasatku meleset.

Ketika Tata menyenggol lenganku dua kaliーyang terakhir agak kuatーdan aku mengangkat pandangan, aku tahu doaku kurang tulus untuk menyentuh semesta. Bos agak-agak berjalan tegap membelah lautan perhatian pengunjung resto menuju meja kami. Yang terburuk dari yang terburuk, dia tidak memalingkan wajahnya dengan tatapan seekor elang yang menemukan mangsa.

"Kalian di sini?" tanya Aga. Nada bicaranya datar sehingga aku nyaris tidak bisa membedakan dia terkejut atau gembira menemukan pegawainya di sini.

"Halo, Pak. Mau makan bareng kami?" Tata yang pekerjaannya sering di bawah supervisi Aga menunjukkan keakraban.

Aku ingin sekali menginjak kaki Tata. Buat apa beramah-tamah ke bos. Bukannya karena Aga itu bos menyebalkan yang hidupnya bagai dementor, tetapi sudah kodratnya cungpret menjauhkan diri dari bos pas di luar jam kerja. Tindakan semacam ini timbul secara naluri gitu.

"No. I'm full." Aga menarik kursi di sebelah Mbak Kayla dan duduk di situ. Tindakannya benar-benar kebalikan ucapannya. Jika dia sudah kenyang, ada baiknya dia say good bye and have a great time. Dengan demikian, aku bisa bernapas lega. Duduk di seberang Aga membuat aku takut bernapas terlalu kencang.

"Kalian biasa makan di sini?" Aga menyisir resto sekilas.

Aku spontan mengikutinya dan menemukan berpasang-pasang mata mengamati kami diam-diam. Inilah masalah dari pria tampan berjas rapi di luar jam kerja. Aga terlalu menarik perhatian kaum hawa.

"Mau cari suasana baru aja. Bapak mau saya pesankan minuman?" Mbak Kayla berubah mode profesional.

"Gue mau air putih aja," Aga menjawab sembari melepas kancing jas.

Aku dan Tata bertukar lirikan nakal. Meskipun aku kurang menyukainya, aku tidak bisa tidak mengakui fisiknya merupakan anugerahku selama bekerja di sini.

"Bapak habis dari mana? Rapi banget." Tata kembali berbicara. Minat besarnya terlihat dari posisi duduknya yang condong. Mbak Kayla sibuk mengangkat tangan memanggil waitress.

"Habis meeting. Emangnya lo nggak tahu jadwal gue?" Aga dengan nada songong menyilangkan lengan dan memberi tatapan curiga.

"Saya lupa, Pak." Tata tertawa malu-malu.

Aga mendengkuskan tawa yang di mataku memberi kesan meremehkan. "Besok lo bebas dari ngecek jadwal gue. Atur semua pekerjaan gue ke Ceri. Dia mulai jadi asisten gue. Lo yang bantu assist dia sementara," katanya.

Aku membelalak. "Pak, ehm..." Aku menciut mendapatkan lirikan sinis Aga. Kata-kata lenyap dari ujung lidahku.

"Wow, mulai besok Ceri jadi asisten." Tata melirik usil. "Bulan depan ada yang traktir nih."

Traktir poop?!

Aku mendelik tak suka dan Tata segera melengos.

"Kalau Ceri jadi asisten Pak Aga, bagaimana penggajian?" Mbak Kayla kembali ke obrolan setelah selesai memesan minuman si bos.

"Ceri juga yang mengerjakan. Sebagai asisten pekerjaan Ceri nggak banyak. Izhar bilang, Ceri masih bisa handle pekerjaan yang lama." Aga tersenyum di ujung perkataannya. Matanya sampai membentuk bulan sabit yang indah.

Melihat Aga tersenyum seolah-olah aku melihat bunga-bunga sakura bermekaran di belakangnya disertai angin sejuk yang meniup wajah. Aku meneguk ludah. Jantungku nggak siap kalau lawannya pakai modal ketampanan. Aku menoleh ke Tata yang merona. Ternyata bukan hanya aku yang hatinya murahan.

Setelah menyibak kelopak pesona Aga dari atas kepala, aku beranikan diri untuk mendebat, "Mas Izhar belum bilang kalau mulai besok saya langsung pegang tugas asisten Pak Aga."

"Izhar masih bisa ngasih tahu lo besok. Toh lo nggak langsung menangani gue. Lo masih belajar sama Tata." Aga berbicara santai. Dia berpaling ke Tata. "Besok gue kirim jadwal baru gue ke email. Langsung update dan kasih arahan ke Ceri."

"Siap, Pak." Tata memberi hormat ala tentara.

Aku merasa kami salah tempat dan waktu. Kami bukan sedang di kantor dan sekarang sudah di luar jam kerja, tetapi Aga malah memberikan koordinasi kerja di sini saat ini. Hidupku kok bisa becanda gini?

Waitress datang membawakan sebotol air mineral dan gelas berisi es batu. Mbak Kayla memindahkannya ke depan Aga.

"Kalian belum bayar makanan kalian, kan?"

"Belum, Pak."

Aga mengeluarkan dompet dari balik saku dalam jas. Dia menarik satu kartu dan meletakannya di depanku. "Gunakan ini untuk bayar makanan kalian. Anggap saja sebagai traktiran Ceri," katanya. Dan dia tersenyum lagi. Kali ini luar biasa mempesona hingga wajahku diserang kelopak bunga sakura dan angin gunung.

Dia berdiri sebelum kesadaran kami terkumpul. Sambil membenahi jas, dia berkata, "Saya duluan." Kemudian dia pergi.

Mbak Kayla sadar duluan. "Pak, minumnya?"

"Buat kalian aja," jawab Aga tanpa menoleh.

"Kartunya, Cer." Tata mengetuk telunjuk di sisi kartu yang ditinggalkan Aga.

Pandanganku turun. Untuk sepersekian detik aku dibuat terpanah pada benda tipis tersebut. Jiwa jahatku tergoda untuk menggunakan kartu Aga buat jajan tas LV idamanku mumpung limit kartunya jauh menembus langit.

###

19/11/2022

How Could I Possibly Go Wrong?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang