BAB 4 - Bunga Mawar

31 0 0
                                    

"Ini aku lagi di jalan Moy..", suara wanita itu sontak memenuhi ruang mobil sedan yang dikendarainya. Perempuan berkacamata dengan jilbab hitam merk saudia memindahkan telpon genggamnya di kursi kiri samping kemudi bersama dengan tumpukan document keeper kapasitas 60 sheet, beberapa buku referensi, dan tentunya draft skripsi. Sedikit mengernyitkan kening, mulai menarik napas dalam-dalam, ia sudah merasa seperti buronan hari ini.

Seraya melirik jam tangan, "Oh.. my God !", dengan penekanan suara di akhir kalimatnya, terasa betul kekesalan sedang menghinggapinya pagi itu. Agaknya aroma keterlambatan itu semakin merebak dan mulai melebarkan jarak. Mobil, motor, bis kota berbaris rapi dihadapannya tak terkecuali mobil sedan hitam miliknya yang ikut mengantre bersama kendaraan-kendaraan lain di belakang.

"Ya Allah.. hamba hanya ingin bimbingan hari ini..", mukanya mewek termehek-mehek, matanya pun memerah. Teringat akan pesan sahabatnya, Man Shabara Zhafira, siapa yang sabar akan beruntung. Secepat kilat ia mengambil ancang-ancang ber-istighfar.

Sambil memejamkan mata dan mengenakkan posisi duduknya, ia mulai relaksasi. "Astaghfirullahal'adzim.. Astaghfirullahal'adzim.., jangan ngeluh, inget kata Nissa ya Tia. Ngeluh nggak akan nyelesain masalah", omelnya pada diri sendiri. Dibukanya kedua mata itu perlahan, sambil dihembuskan karbondioksida lewat mulutnya, hingga hembusan hufffttt keluar bersuara.

Roda-roda di jalanan masih melaju pelan. Semeter-dua meter, tak biasanya kemacetan terjadi di daerah ini. Walaupun setengah hati gadis itu harus menerkam emosinya sendiri. Tidak ada trik lain yang bisa menyembuhkan kegelisahannya kali ini. Ia mulai berada di posisi yang tidak bisa mundur ataupun maju lagi. Stagnan.

Tok...tok...tok... Matanya melirik ke kanan jendela, dilihatnya seorang anak laki-laki berpakaian agak lusuh sedang memegangi beberapa bungkus tissue kemasan 50 sheets di tangannya. Tanpa pikir panjang ia turunkan kaca jendela mobil agar bisa menatap dua mata kuyu di sebelah kanannya itu secara langsung.

"Berapa harganya ?", tanya gadis itu ramah.

"satu 5.000 teh, kalo beli tiga 10.000 aja teh", jawab anak itu.

Seraya merogoh kantong kanan depan celananya ia masih memandangi makhluk disebelahnya. Semakin terkesima ia melihat bocah lugu dengan kaos dan celana panjang yang lusuh rela berpanas-panasan dari pagi hingga mungkin tak tahu kapan waktunya berhenti hanya demi sesuap nasi.

"Nih...", katanya memberikan selembar uang 50.000 rupiah.

"Mau borong teh ?", seru anak itu terbelalak.

"Nggak...teteh ambil tiga aja. Sisanya boleh buat kamu".

"Bener apa bener ini teh ?"

"Haha... iya bener", tingkah bocah itu ternyata mampu menghapuskan sedikit memori tentang macet-macetan pagi ini. Gelisahnya menguap bersama tawa. Setelah akad persetujuan jual beli, bocah itu segera memberikan tiga bungkus tissue kepadanya. Dilihatnya tangan yang hitam itu, nampak kasar bak sering memanggul beban berat. Celana hitam dan baju kaos putih yang dikenakan anak itu sudah tersamarkan bahkan hampir tak dikenali warna aslinya tentu sebab debu dan asap knalpot kendaraan.

"Terima kasih teh..."

"Iya sama-sama. Kamu kok jualan disini ? Biasanya teteh lihat orang jualan tissue begini di lampu merah", antara sok kenal dan sok mengakrabkan diri gadis itu seperti tak ingin putus obrolan.

"Kalo aku tadi ke lampu merah, gak bakal ketemu teteh disini", jawabnya polos. Kalimat itu sungguh menjadi obat bagi gadis berkacamata itu. Untuk kedua kali, gelisahnya menguap dengan tawa.

"Teteh harusnya jangan lewat jalan ini, sudah hampir satu jam di sini macet, ada kecelakaan di depan sana", imbuh anak itu lagi.

Tia mengedarkan pandangnya jauh ke depan menembus rangka-rangka beroda, seolah berharap keadaan ini akan segera berakhir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang