BAB 2 - Serba Putih

69 7 1
                                    


Gadis itu nampak terkesima dengan perubahan yang ada di sekelilingnya. Sejak ia menapakkan kaki pertama kali setelah berbulan-bulan merantau, baru kali ini ia merasa ruangan favoritnya itu seperti berkilauan. Disentuhnya pelan satu per satu apa saja yang ia lewati. Meja belajar Nissa sudah berubah wujud, dari kusam menjadi putih bersih. Ia pasati secara seksama. Nissa sadar betapa wanita yang membesarkannya dari lahir itu sangat persis dengan dirinya. Ia takjub dengan ketrampilan Ibu yang mengganti hampir semua properti di kamarnya, kemudian menatanya sesuai dengan seleranya. Ibu memang sangat detil, hal-hal yang paling kecil sekalipun tidak pernah luput dari perhatiannya. Bak kekasih yang penuh kejutan, Ibu berhasil menjadi orang yang selalu mampu membuatnya jatuh cinta berkali-kali.

"Nice...", gumamnya masih memandangi kamar lama rasa barunya yang serba putih.

"Kamu pasti nggak nyesal jadi anak Ibu", kata Ibu pamer.

"Asli...", jawab Nissa berbinar, tangannya sibuk meraba-raba etalase gantung berisikan buku dan pernak-pernik gaya vintage yang lucu.

"Lemari, meja belajar, kursi, tempat tidur, sama meja rias kamu Ibu ganti yang baru",

"Terus yang lama ? Dijual ya Bu ?", tanya Nissa mengambil posisi duduk di kasur barunya.

"Ditukar tambah kok. Jadi yang lama dikasih ke labelnya lagi", kali ini Ibu menyeimbangi duduk di sebelah Nissa.

"Kamu masih suka malas mandi nggak ?", timpal Ibu mengagetkan Nissa.

"Lah... Ibu yang ada-ada aja", Nissa terpingkal memegangi tangan wanita tua itu.

"Kadang-kadang sih...", lanjut gadis itu tak sanggup lagi menahan tawanya.

Sore itu menjadi hari yang luar biasa bagi Nissa dan Ibu. Berbagi canda dan tawa, keluh dan kesah hari-harinya selama di Fukuoka kemarin, tak terasa menyita waktu mereka hingga mendekati maghrib. Ibu pamit duluan hendak shalat.

"Jangan lupa bersih-bersih, Niss.."

Ia lemparkan senyum ke wanita tua itu pertanda iya. Ibu membalas dengan menutup pintu kamar anaknya dari luar. Nissa menghela napas, ia tidak percaya sudah kembali ke habitatnya setelah penantian yang panjang.

Sambil menikmati kelembutan karpet bulu baru yang tepat berada di pijakan kakinya sekarang, Nissa sangat bersyukur telah dilahirkan dari rahim wanita yang sangat kuat itu. Bukan hanya karena Ibu sudah melahirkan dan membesarkan tiga orang anak seorang diri. Namun juga sifat dan karakter Ibu yang selalu dan selalu bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Di tengah keterbatasan ekonomi Ibu mencoba bertahan hingga kini. Dulu, pertanyaan-pertanyaan itu terus melayang di otak Nissa, mengapa Ibunya itu tidak pernah berencana menikah lagi. Membangun keluarga yang baru bersama dengan laki-laki kedua dihidupnya. Ia berpikir itu akan jauh lebih baik dan meringankan beban sang Ibu, ketimbang harus bersusah payah sendirian memeras keringat. Pemahamannya yang kekanakan itu terus tumbuh menjadi pohon yang besar dan dewasa. Tentu dipupuk dengan rasa penasaran yang tinggi, Nissa mulai mengerti perasaan Ibu. Kehilangan yang justru menegarkan Ibu hingga saat ini.

Sebelum memutuskan kuliah desain komunikasi visual di Bandung, Nissa sempat bergalau ria. Kalau-kalau Ibu akan merasa kesepian karena anak bungsu yang selalu ada menemaninya harus jadi mbak toyib. Beruntung Nissa tidak pernah berpikir untuk menunggu tiga kali puasa dan tiga kali lebaran baru pulang ke rumah. Sebaliknya 3 tahun ke belakang, gadis itu sangat rajin pulang ke Jakarta demi melihat Ibunya. Hampir setiap minggu rela bolak-balik hingga tidak memedulikan dirinya yang mungkin kelelahan karena telah diporsir dengan tugas. Ujung-ujungnya Nissa selalu kena semprot Mas Pram dan Mbak Nita yang terus-terusan melihat Ibu kerepotan mengurusi adik bungsu mereka yang sakit.

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang