↪lima

177 24 3
                                    

"hai, adipati." sapa anindya ramah

yang disapa melemparkan senyum merekahnya. anindya salting sendiri.

"sama siapa ke sini, nin?"

"sama—"

"sama gua. kenapa?"

adipati ngelirik ke arah rajendra dengan satu alis terangkat.

"nin, gue cabut duluan ya. nanti malem, tolong bales line."

kemudian, adipati beneran cabut dan rajendra natap anindya lamat-lamat.

"ngobrol apaan?"

"baru juga nyapa doang."

"besok-besok, gak usah nyapa dia."

"dih, kenapa sih?"

"haram."

apanya yang haram? malah, adipati bisa kok ngehalalin anindya. hehe.

menghela nafas pasrah, anindya natap rajendra dengan kesal. kemudian, pergi gitu aja ninggalin lelaki itu sendirian.

festival di alun-alun yang sedang mereka hadiri ini, cukup ramai pengunjung. anindya bahkan sempat ngerasa kakinya ketuker saking banyaknya orang.

tiba-tiba, adipati dateng. mata mereka bertemu. anindya sedikit kaget karena celah jemarinya terisi dengan mudah oleh jemari lelaki berwajah tegas itu.

"biar gak hilang." katanya

dan tanpa sadar, senyum di wajah anindya mengembang dengan sempurna.

mengitari sekitar, berakhir dengan mereka yang berdiri berdampingan menonton seorang penyanyi jalanan.

"ganti lagu dong, mas." celetuk salah satu penonton

"waktu yang salah, waktu yang salah."

tiba-tiba adipati maju, ngobrol sebentar sama si mas-mas penyanyi jalanan itu.

gak lama, gitar akustik milik si mas berpindah tangan ke adipati. mata anindya dan mata lelaki itu sempat bertemu untuk beberapa saat.

"saya bakal nyanyi di sini buat seseorang— saya harap, lagunya bener-bener nyampe dengan sempurna ke dia."

petikan gitar yang mulai terdengar lembut, mengisi indera pendengaran semua penonton yang ada di sana.

anindya tersenyum dengah megahnya.

adipati menatap gadis itu dengan senyum yang tak kalah megah. tangannya terus menggenjreng gitar akustik berwarna cokelat muda.

sampai habis umurku
sampai habis usia
maukah dirimu jadi teman hidupku?

kaulah satu di hati
kau yang teristimewa
maukah dirimu hidup dengan ku?

🎡

sepulangnya dari festival, rajendra gak bersuara sama sekali. bahkan, anindya sampe mukulin badan lelaki itu.

"san, kenapa siiih?"

anindya nusuk-nusuk pipi lelaki itu pake jari telunjuknya; meminta perhatian.

"san."

"sanwaraaa.."

"saa—"

"berisik."

anindya langsung senyum, "hehe,"

"coba dong san, senyum dulu."

"mahal."

"dua kaset pees deh."

rajendra langsung senyum.

"coba jelasin kenapa diem."

"gamau."

"dih, sok ngambekan lu ah."

"bodo."

"iya, iya, coba sini jelasin, sayang."

anindya mengusap lembut puncak kepala lelaki yang sibuk menyetir itu.

"gak usah deket-deket sama yang tadi."

"yang tadi siapa?"

"yang nyanyi."

"mas-mas penyanyi?"

"bukan."

"oh, adipati?"

"gak usah disebut."

"yaudah, iya. kenapa?"

"kan udah gue bilang, haram."

apaan banget.

"y-yaudah," ucap anindya— mengalihkan pandangannya ke jalan raya

cukup lama diam, rajendra kembali bersuara. mengambil atensi anindya.

"hape lo mana, nin?"

"di saku. kenapa?"

"sini."

anindya ngambil hapenya dan ngasih ke rajendra tanpa rasa penasaran.

"ini, di gue dulu malam ini."

"loh? kok? kan nanti adipati mau ngechat?"

"ya.., karena itu."

dwiwarna | san ateezTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang