2. Menikah

4.8K 95 30
                                    

Akhirnya menikah.

Meski aku tak terlalu mengenalnya, ya sudahlah. Setidaknya Raisa bukan perempuan jelek. Selesai akad nikah, dia menghampiri dengan gamis putih dan kerudung yang juga putih. Pakaian standar untuk prosesi akad nikah. Senyumnya manis, cukup mengobati rasa masygul karena tak sempat bicara dengannya sebelum menikah. Biar saja, toh masih ada waktu seumur hidup untuk berbincang nanti.

Selepas shalat zhuhur, aku masuk kamar untuk istirahat. Kuharap kita akan punya waktu untuk berbincang dulu sebelum pesta pernikahan selepas isya nanti. Tapi harapan tinggal harapan, Sang Putri Tidur sudah terlelap duluan, tentu saja.

Saat tidur, dia terlihat jauh lebih manis. Rambutnya hitam sekali ternyata. Selama ini tertutup kerudung hingga aku tak tahu seperti apa bentuknya. Helai-helai hitam itu halus meluncur di sela jari-jariku. Pipinya halus seperti mentega. Bibirnya merah, meski sisa lipstik sudah bersih dari sana. Dan dari ujung bibir yang agak membuka itu, mengalir sebaris air.

Astaga! Putri Tidurku ternyata ileran!

Dia menggeliat ketika kubersihkan perlahan iler yang mengalir hampir mencapai bantal. Selimut yang tadi menutup hingga dada, terbuka memperlihatkan perut nan rata. Aneh sekali, Sang Putri Tidur berselimut di siang bolong seterik ini. Padahal tak ada AC di sini.

Kubuka baju dan tidur bertelanjang dada di sisinya. Sepertinya kita bertolak belakang soal penerimaan terhadap suhu lingkungan. Dia mudah sekali kedinginan, sementara aku gampang sekali kepanasan. Dia perlu berselimut di siang sepanas ini, sedangkan aku ingin sekali membuka seluruh pakaian sekarang juga.

***

Aku terbangun karena terjatuh ke lantai. Belum selesai memahami apa yang sedang terjadi tiba-tiba terdengar teriakan. "Siapa kamu?! Ngapain kamu di sini?!" Sang Putri Tidur sudah bangun dan menunjuk-nunjuk mukaku dengan mata garang.

Belum pupus rasa pening karena jatuh terguling, beberapa tendangan langsung disarangkan ke dada, tangan, dan kakiku.

"Keluar! Keluar!" dia berteriak-teriak lagi. 

Dia membuka pintu lalu menarik tanganku. Dengan segenap kekuatan didorongnya aku keluar.

Gila! Apa benar yang barusan itu istriku?

"Haikal?" Bang Randi terheran-heran melihatku mematung di depan pintu kamar. Tangannya menepuk-nepuk punggung bayi yang terlena di pundak.

"Aku ditendang keluar kamar, Bang." Kalimatku terdengar lucu bahkan oleh diriku sendiri.

Bang Randi juga menertawaiku. "Pasti dia lupa kalo tadi pagi udah nikah," katanya.

Aku mengikutinya duduk di kursi ruang tamu. Angin sepoi-sepoi masuk dari teras. Bayi di pelukan Bang Randi pun tertidur pulas.

"Sabar aja, ya Kal. Dia emang suka lupaan. Bentar lagi juga inget," imbuhnya sembari menidurkan si bayi dalam lingkar lengan.

Kata-katanya mengingatkanku pada insiden sepekan lalu. Ketika aku memintanya untuk melarikan diri dari pingitan tapi gagal karena lupa mengisi ulang baterai ponsel. "Emang separah apa, Bang?"

Bang Randi tertawa lagi. "Kemaren aja, kalo ngga diingetin, dia lupa hari ini mau nikah."

Hah? Segitunya? Masa iya bisa lupa hari penting begini?

"Yah, sabar aja, Kal. Nanti kalo udah kebiasaan juga dia inget sama kamu," kata Bang Randi siap-siap beranjak untuk menidurkan bayinya di kamar.

"Haikal..." sebuah suara lirih mengejutkanku. Di sana dia berdiri tertunduk. Tangannya ragu-ragu menyelipkan helaian rambut ke balik daun telinga. "Maaf, ya. Aku kaget tadi ada cowok ngga pake baju, tidur di tempat tidurku," kata-katanya tak ayal membuatku tertawa.

Bulan MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang