Kami tiba di Solo lepas tengah hari. Santap siang telah terhidang di meja hingga Om Topo pun langsung memandu ke ruang makan. Setelah menyantap hidangan dan berbincang ala kadar, aku mohon diri istirahat di kamar yang sudah disediakan Tante Tuti.
Seluruh otot punggung hingga leher rasanya kaku semua. Meluruskan badan jadi pilihan utama saat ini. Kuregangkan tubuh di kasur sembari memejamkan mata.
Lelah sekali tapi tak bisa tidur. Suhu udara terasa panas menghimpit. Harusnya ada AC di kamar. Ah, aku ingin tidur. Malas sekali harus mencari remote AC dan menyalakannya.
Suara pintu dibuka, lalu seseorang melangkah masuk.
Raisa? Dia sudah selesai membantu Tante Tuti mencuci piring? Mataku terlalu berat untuk sekadar membuka kelopak.
Terdengar suara denting remote menyalakan AC. Ah, kamu pengertian sekali, Sayang.
Angin sejuk membelai wajahku beberapa saat kemudian. Ini suhu yang tepat buatku tapi mungkin akan membuatnya sedikit kedinginan.
Kuangkat tangan, memintanya mendekat. Dia tertawa kecil. "Belum tidur, ya?" Digenggamnya tanganku.
Kuberikan senyum sebaik mungkin. Untuk bicara rasanya sudah tak sanggup. Sudahlah. Sini, dekap saja aku.
Dia berbaring dalam lingkar lenganku. "Aku senang kamu jadi suamiku. Terimakasih sudah mau menerimaku. Aku akan memaksa setiap senti syarafku untuk mengingatmu."
Kueratkan lengan melingkari tubuhnya. Aku tahu betapa beratnya itu, Sayang. Tak perlu memaksakan diri. Aku akan selalu mengingatmu, berapa kali pun kamu melupakanku.
Siang itu kami tidur saling berdekapan.
***
Adzan maghrib telah selesai dikumandangkan ketika kami menginjakkan kaki di Tawangmangu. Villa milik Om Topo ternyata besar sekali. Gaya arsitektur gothik pada bangunan memberi kesan seram dari luar. Halamannya luas, sebagian ditanami bebungaan sementara di bagian lain hanya rumput gajah terhampar. Sepertinya akan menyenangkan sekali menggelar tikar di sini untuk berpiknik.
Begitu memasuki rumah, kami disambut oleh ruangan lepas yang sangat luas. Hanya sebuah meja kopi di sudut dan selembar karpet besar yang mengisi kekosongan. Ada empat kamar besar, masing-masing dengan kamar mandi di dalam. Tiap kamar berukuran kurang lebih sama dengan standar kamar hotel. Dua kamar diisi dua single bed sementara dua kamar lainnya menggunakan tempat tidur king size.
"Kita cuma berdua di sini?" ada kengerian dalam nada suara Raisa.
Aku cuma meringis. Hawanya memang agak mengerikan. Tapi villa-villa di Tawangmangu memang rata-rata seperti ini. Mungkin karena banyak yang dibiarkan kosong begitu saja hingga ada makhluk lain yang meninggali.
Kami memilih satu kamar dengan tempat tidur king size. Raisa menyalakan televisi yang tergantung di dinding. Siarannya tak satu pun mampu menarik minat. Satu saluran penuh bintik, satu lagi hanya mengeluarkan suara berdengung, kebanyakan cuma gambar hitam putih dengan suara tidak begitu jelas. Tapi siapa peduli, kami ke sini bukan untuk menonton televisi.
Dia mematikan TV lalu beralih ke meja rias, melepas kerudung. Kukecup lekuk lehernya dari belakang. "Cari makan, yuk. Aku laper."
Raisa tertawa, melepas tanganku yang melingkar di pinggangnya. "Sholat dulu kali," katanya lembut.
Selesai sholat kami berjalan keluar mencari sesuatu untuk mengisi perut. Kalau tak salah, tadi aku melihat sebuah restoran tak jauh sebelum tiba di villa.
Villa yang kami tinggali tidak berada di jalan utama. Jaraknya kira-kira 100 meter dari ujung gang percabangan jalan. Suara debur air dapat terdengar dari teras. Tepat di seberang jalan adalah jurang yang cukup landai dengan sungai berarus deras di dasarnya.
Raisa berjalan sambil meniup-niup kepalan tangan untuk menghangatkan diri. "Kan aku dah bilang, di sini bakal dingin banget buatmu," kataku meraihnya mendekat.
Berjalan berangkulan seperti ini sebenarnya sangat menghambat langkah. Tapi apa boleh buat, Raisa benar-benar kedinginan. Kugosok-gosok lengannya untuk membantu menghangatkan. "Kita beli jaket sekalian?"
"Ah, cuman berapa hari ini. Sayang duitnya," dia menolak sambil meniup-niup kepalan tangan.
"Jiah! Kalo malam ini kamu kena hypothermia, nyeselnya bisa seumur hidup!"
Dia tertawa. "Kan ada kamu," ujarnya, "apa kamu ngga mau menghangatkanku malam ini?"
Eh? Apa dia sedang menggodaku?
***
Malam itu kami saling menghangatkan. Hangat mungkin bukan kata yang tepat karena yang kurasakan sangat panas.
Menembus pertahanan perawan ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan. Membutuhkan kekuatan dan kelembutan sekaligus bersama dengan kecerdasan serta kesabaran.
Mungkin bisa saja tak jadi sesulit ini kalau aku agak memaksa. Tapi tiap kali dia sedikit meringis, aku tak tega. Raisa pasti mengerahkan segenap indera untuk memasukkan peristiwa ini dalam ingatan jangka panjang. Karena penuh konsentrasi, rasa sakit akan dirasakan berlipat-lipat begitu pula rasa bahagia. Aku tak mau yang masuk dalam ingatannya adalah rasa sakit. Aku ingin dia menikmati kesenangan berlipat, sama sepertiku.
Di akhir perjalanan, dia mencengkeramku kuat. Rona merah memulas seluruh bagian wajah. Kulumat bibirnya sekali lagi sebelum membaringkan diri melepas lelah.
Dia meringkuk memelukku. Detak jantungnya terasa beresonansi dengan milikku.
"Haikal..." desahnya di telingaku, "aku mencintaimu."
Kupeluk erat tubuhnya dalam dekapan kedua lengan. "Aku sudah jatuh cinta padamu sejak kita bertemu di tepi kolam." Kukecup keningnya.
Tenagaku terkuras habis. Tak ada lagi yang kuingat setelah itu. Hanya desahan terakhirnya terus terngiang di telinga. "Haikal, aku mencintaimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Madu
General FictionOrang bilang, ujian cinta yang sesungguhnya adalah pernikahan. Entahlah, aku tak tahu. Soalnya, tak ada cinta sebelum menikah. Lalu apanya yang diuji? -Haikal- Menikah? Hmmpfft! Oke. -Raisa-