"Ngapain ngambil foto warung makan kosong?"
"Biar kamu inget. Di sini ciuman pertama kita."
Pipinya merona merah seperti baru saja terpulas pensil warna. Menggoda sekali. Yang pertama, kedua, ketiga, di sini aja terus sampai bosan.
Kriuuuk!
Suara perutku menghentikan aktivitas bibir dan lidah. Dia tertawa. "Ciuman ngga bisa bikin perut kenyang. Ayo kita cari makan!"
Yah, lagipula aku masih harus menyetir sampai Solo. Kata google hampir tiga jam lagi lewat jalan tol Semarang-Batang lalu dilanjut tol Semarang-Solo. "Apa kita perlu mlipir dulu ke hotel?" Biar lebih enak melanjutkan ciuman yang tadi?
Yang ditanya ternyata sudah memejamkan mata. Pantas saja tak ada suara apa pun sejak meninggalkan warung soto tadi.
Setelah bangun nanti, apa dia akan melupakan ciuman pertama kami? Apakah aku harus mulai dari awal lagi?
Ambil sisi baiknya. Berarti akan ada ribuan ciuman pertama. Bayangkan betapa menyenangkannya itu!
Kami sarapan di satu warung soto kecil sebelum masuk tol Semarang-Batang. Soto di sini rasanya biasa saja. Untung perutku benar-benar lapar setelah menghabiskan cukup banyak energi untuk panik tadi subuh ditambah adu mulut perkara ciuman. Dua mangkuk berhasil pindah ke dalam perut dengan sukses.
"Eh, itu Kak Herlina!" katanya menunjuk televisi yang menyiarkan berita pagi.
Ah, aku masih malas melihat mukanya. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir dua tahun berlalu, namun wajahnya masih saja merusak mood.
Tapi Raisa memanggil Herlina dengan sebutan Kak?
"Dia seniorku, loh!" ucapnya penuh rasa bangga.
Oh, senior. Pantas. Eh, ini informasi baru. Tak ada yang memberitahu perihal riwayat pendidikannya. "Oh, berarti kamu lulusan sastra?"
Dia mengangguk senang.
Kalau begitu jadi makin tak aneh. Pantas saja dia bisa membuat kisah Nabi Yusuf kecil jadi begitu mengagumkan.
"Eh? Kok kamu tahu? Aku dah pernah cerita juga, ya?"
Pengen tepok jidat rasanya. "Yah, kan kamu yuniornya Si Herlina, berarti satu jurusan, kan?" Penalaran yang sangat sederhana.
"Wah, kamu fans-nya Kak herlina juga, ya? Sampe tahu dia lulusan mana."
Cih, sorry! "Dia mantanku."
"Hah? Serius? Bo'ong pasti. Yang namanya fans pasti ngaku-ngaku mantan, deh. Hahaha!"
"Serah!" Tapi dia benar mantanku. Pacaran sejak semester lima, baru bubaran sekitar dua tahun lalu. Benar kata orang, durasi pacaran tidak berhubungan dengan pernikahan. Buktinya, tanpa pacaran pun, aku dan Raisa akhirnya menikah.
"Dia keliatan cerdas banget, ya. Aku bener-bener pengen, deh, kaya dia." Matanya menatap lekat televisi penuh kekaguman.
Cerdas. Kata sifat yang pertama kali membuatku terpesona padanya. Tapi cerdas saja ternyata tidak cukup.
"IPK-nya 3,7, loh!" Raisa masih saja membanggakan idolanya itu.
"Ah, ngga penting. Emangnya nanti di akhirat bakal ditanya berapa IPK waktu lulus?"
Dia menoleh. Menatapku heran beberapa detik. Lalu katanya, "Iya juga, sih."
"Ganti saluran aja, ah. Masih banyak acara yang lain." Hanya ada kami berdua pelanggan warung ini pagi itu. Mengganti saluran harusnya tidak akan jadi masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Madu
General FictionOrang bilang, ujian cinta yang sesungguhnya adalah pernikahan. Entahlah, aku tak tahu. Soalnya, tak ada cinta sebelum menikah. Lalu apanya yang diuji? -Haikal- Menikah? Hmmpfft! Oke. -Raisa-