Space🚀

1K 176 17
                                    

"Kau sedang main dengan kita tapi matamu tak pernah pergi dari layar ponsel."

Aku menghela napasku sebelum akhirnya menyaku ponselku setelah mendapat kalimat pedas dari Renjun yang bahkan sekarang sudah lebih memerhatikan es krimnya dibandingkan diriku.

Siang ini memang aku memilih untuk keluar dengan empat sahabatku. Mencoba menghabiskan hari sebelum memasuki perguruan tinggi. Memulai belajar sampai mual-mual.

Sayangnya, sudah tiga hari yang lalu sejak kau tak dapat ku hubungi dengan terakhir kali kau berada dalam jaringan dan memberitahuku bahwa kau akan pergi ke sebuah perjalanan bisnis membuatku sedikit resah. Bukan karena apa, lebih karena biasanya paling tidak kau akan menghubungiku walau sekali.

Tidak. Aku memang tidak terbiasa bercerita dengan orang lain mengenai hubungan kita. Ini hubungan kasih pertamaku dan setidaknya aku ingin tahu bagaimana rasanya benar-benar mempercayai sang kekasih tanpa mendapat faktor dari luar yang bisa saja akan lebih merusak hubungan kita.

Aku sedikit meringis ketika Jaemin akhirnya mengajak pulang dengan dalih bahwa percuma kami keluar tapi aku tak menikmatinya. Sehingga kini, aku sudah berjalan bersisian dengan Jeno karena rumah kami yang lebih jauh dari rumah Jaemin, Renjun, dan YangYang.

Akan tetapi sebelum aku melambaikan tangan pada Jeno dan berjalan melewatinya menuju ke rumahku, Ibu Jeno yang ada di depan rumahmu seolah mencegah kami di sana.

"Hallo, Donghyuckie. Ah, Jeno, bisa kau antar ini pada kakakmu? Ayah belum pulang dan Mark pasti takkan repot-repot mencari makan. Sehat saja malas makan apalagi sakit."

Aku mengerjap mendengarkan Ibu Jeno berceloteh sembari memberikannya serantang makanan. Pikiranku berputar. Merasa bodoh karena bahkan tak berniat menyelinap ke apartemenmu begitu saja dari kemarin-kemarin. Atau setidaknya menghubungimu terlebih dahulu.

Sampai akhirnya, di sinilah aku. Di depan apartemenmu setelah berlari dan berkata pada Jeno dan ibunya kalau aku yang akan mengantarkannya padamu.

Aku mengambil napasku. Memencet kumpulan angka kode apartemenmu. Iya, aku memang bisa masuk dengan mudahnya, tapi aku tak melakukannya kemarin-kemarin karena aku selalu tak mau mampir kalau kau tak ada. Membosankan, sehingga aku lebih memilih tidur di rumah atau bermain dengan yang lainnya.

Kakiku langsung bergerak membawaku ke kamarmu. Membuka pintu perlahan dan menemukanmu yang berbaring meringkuk membelakangiku dengan selimut yang menggumpal berantakan. Tapi setelah aku memanggilmu sekali, kau berjingkat dan langsung membalikkan tubuhku menghadapku.

"Sedang apa kau di sini?"

Kau mengusap wajahmu kasar. Tampilanmu benar-benar berantakan. Sangat urakan. Janggut dan kumismu sudah tumbuh lagi. Bibirmu pucat pasi dan kering. Wajahmu tak merona. Rambutmu berantakan. Kantung hitam pada mata merahmu begitu kentara.

Aku berdecak. Mendekat padamu dan menempeleng kepalamu. Apa-apaan tadi? Kenapa heran sekali kalau aku di sini?

"Hei, Babe. Kepalaku sedang sakit kenapa kau pukul?" Protesmu. Tapi aku menggembungkan pipiku seolah tak peduli dan membuka kumpulan cawan Ibu Jeno yang tertumpuk untuk dijejerkan di meja nakas sebelah ranjangmu.

"Aku tak tahu tuh kalau kau sakit kepala ataupun sakit lainnya. Kan yang ku tahu kau sedang dalam perjalanan bisnis yang sepertinya ada di ranjang saja berhari-hari sampai lupa menghubungi kekasihnya."

Aku beranjak setelahnya. Turun ke dapur dan mengambil alat makan serta air untuk dibawa ke kamarmu.

Tapi seperti dugaanku, kau mengiraku marah dan kalang kabut ikut turun mencariku. Mengabaikan kepalamu yang sepertinya semakin berdenyut karenanya.

Loading.... [MarkHyuck]÷Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang