Beberapa tahun telah berlalu, aku tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang manis, yah, menurut ibuku. Aku suka sekali pergi ke taman di sebelah rumahku, berlarian dan melompati tumpukkan batu, juga menari bersama bunga yang bergoyang tertiup angin.
Aku pun terjatuh, lututku terluka. Kedua kalinya kulihat darah yang mengalir, nampaknya segar sekali. Aku mencolek darahku, dan aku mencicipinya. Ternyata darahku terasa lebih lezat dari darah ibuku. Aku segera membersihkan kerikil yang ada pada lututku, supaya aku bisa menikmati darahku yang sangat lezat.
Ibuku menyambut dengan hangat saat aku kembali ke rumah, sepertinya ia tidak menyadari ada luka di lututku. Kuikuti ibuku ke dapur, ternyata tadi ia sedang memotong ayam saat aku pulang untuk makan malam kita nanti.
Aku melihat darah yang mengalir pada potongan ayam itu. Rasa penasaranku kembali muncul, apakah darah ayam selezat darahku?
Aku mengakhiri rasa penasaran itu dengan mencicipinya, tentunya saat ibuku menoleh ke arah lain, aku tidak mau dianggap aneh oleh ibuku sendiri.
Ternyata rasanya cukup amis, tapi tidak buruk. Aku jadi penasaran lagi, apakah rasa darah semua hewan seperti itu?
Aku berlari ke luar rumah, mencari seekor hewan untuk kubunuh.
Wah, ternyata ada seekor burung yang terkapar di tanah. Nampaknya ia baru saja menabrak tiang listrik itu, hahaha, kasihan sekali.Leher burung itu kupatahkan dengan mudah, dan banyak sekali darah yang mengalir membasahi tanganku. Segera aku mengoleskan lidah pada darah di tanganku.
Hmmm, rasanya mirip darah ayam, tapi lebih segar. Mungkin karena burung ini baru saja mati. Aku jadi penasaran, apa rasa daging mentah? Sebenarnya aku ragu, apakah aku akan memakan daging burung ini, atau kubiarkan saja. Tapi aku tidak akan pernah tahu jika aku belum mencobanya, benar, kan?
Aku pulang ke rumah dengan perasaan kagum, Tuhan memang baik, Ia menciptakan makhluk yang begitu lezat. Tentunya aku sudah membersihkan tanganku, supaya ibu tidak curiga.
"Dari mana kamu, Nak? Sudah mainnya? Senang sekali kelihatannya," ibuku yang baik menyambut sambil membelai kepalaku dengan lembut.
"Tadi aku bermain bersama burung, Bu, burungnya bagus," jawabku seraya tersenyum manis.
"Ya sudah, ayo makan dulu."