Jeon Somi terduduk lemas di samping ayahnya menyaksikan rumah mereka hangus terbakar. Rumah tingkat dua dengan cat putih itu sudah berubah menjadi abu berwarna hitam. Rumah indahnya hanya tinggal puing-puing. Hari ini rasanya seperti mimpi siang bolong yang tidak pernah ia sangka. Rumah yang ia sudah tempati belasan tahun ini hanya tinggal cerita. Orang-orang masih berkumpul di sekitar mereka. Juga pemadam kebakaran yang telah berhasil memadamkan api hingga tidak merembet ke rumah di sebelahnya.Jeon Somi menangis, seluruh barang-barangnya sudah lenyap. Koleksi favoritnya berupa foto polaroid yang ia kumpulkan sudah hangus. Ia keluar dari rumah itu hanya bisa menyelematkan ponsel dan tas kuliahnya yang berwarna biru dan sebuah boneka karakter Koya.
"Oke, Appa hari ini kita tunawisma." Jeon Somi berkata sarkastik. Lalu menghela nafas dengan nada berat.
Kehidupan Jeon Somi sama seperti penduduk Kota Seoul lainnya. Tidak miskin tidak juga kaya. Bisa dikatakan cukup. Memiliki rumah dua lantai dengan Ayahnya yang bekerja sebagai chef kapal pesiar. Namun, kalau kasusnya seperti ini, harta terbesar mereka lenyap, akan menjadi sebuah cobaan yang berat juga untuk mereka.
"Kita menginap di hotel dulu untuk dua hari kedepan. Bagaimana kehidupan kita nanti akan Appa pikirkan oke?"
***
"Somi.""Ne?"
"Ayo bersiap-siap. Kita kerumah kawan lama Appa. Ia menawarkan bantuan untuk kita."
Somi yang sedang memainkan ponselnya itu segera menghentikkan aktivitasnya. Mengambil satu tas yang berisi laptop dan ponselnya. Lalu berjalan mengekor Ayahnya yang kini berdiri di depan pintu Hotel.
"Mau kemana?"
"Ke rumah kawan lama Appa. Ia mendengar musibah yang kita alami dan menawarkan bantuan."
"Kita akan tinggal dirumahnya?"
"Ya, untuk sementara waktu."
Jeon Somi dan Ayahnya sudah berada di dalam taxi. Jeon Somi sudah tidak lagi menangis. Sejujurnya ia lebih banyak berpikir. Masih tidak percaya kalau rumahnya sudah menjadi abu. Malam itu, Somi yang berada di kamar dan sedang tidur terbatuk. Karena asap yang memenuhi seluruh kamarnya. Dengan begitu kaget ia bangun dan berteriak kebakaran. Ia mengambil tas nya dan boneka yang berada di kasur lalu segera keluar. Api sudah merayap di bagian belakang rumahnya. Lalu Ayahnya datang dan meneriakkan namanya, "Somi! Ayo keluar. Kebakaran!!"
Dengan susah payah, Somi membuka matanya dan mendapati Ayahnya menarik tangannya untuk segera keluar dari rumah yang sudah terasa begitu panas dan berasap."Tidak apa-apa Somi, sudah terjadi. Yang penting kau selamat sudah lebih dari cukup untuk Appa." Ayahnya menggenggam tangannya. Dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Somi tersenyum getir. Benar, setidaknya Ayahnya satu-satunya orang yang ia punya masih selamat dan bersamanya saat ini.
Jeon Somi turun dari taxi. Mereka berdiri di depan sebuah rumah. Rumah besar dengan gerbang yang begitu tertutup rapat. Ayahnya menekan bel, lalu melongok untuk menampakkan wajahnya, yang tentu saja dapat terdeteksi dari dalam rumah.
Tak lama kemudian pintu gerbang terbuka.
"Ayo Somi. Kenapa kau masih diluar? Ayo masuk."
Jeon Somi melangkah ragu. Ia memegang tali tas ranselnya dengan erat dan menggendong boneka koya nya.
"Hey, sudah hadir. Ayo masuk." Lelaki paruh baya dengan potongan rambut klimis itu menyambut mereka. Kawan Ayahnya segera memeluk Ayahnya. "Ini anakmu? Cantik sekali."