"Ini baru 35 juta, masih kurang 45 juta lagi. Kemana kita bakal nyari sisanya An?" Kenzie menyenderkan tubuhnya pada dinding rumah sakit, cowok itu memejamkan matanya. Sementara Ana yang awalnya berdiri di depannya ikut duduk di sampingnya."Ana punya uang bang, tapi cuma 2 juta, dari tabungan Ana sama hasil Ana kerja selama ini" Ana mengikuti Kenzie yang menyenderkan tubuhnya pada dinding, kedua orang ity menghela napas panjang.
"Apa abang jual aja ya si Juki?" Kenzie membuka matanya yang semula tertutup dan memandang kearah Ana.
"Nggak boleh! Abang nggak boleh jual juki! Nanti kalo abang jual juki, abang kuliah naik apa? Lagian juki itu satu-satunya peninggalan papa abang!"
Kenzie mendesah kasar. Disaat seperti ini, bisa-bisanya dia tidak berguna menjadi lelaki, bahkan tidak mampu untuk membantu satu-satunya saudari sepupunya.
"Tapi tante Rani lebih butuh dari pada gue An, ntar kuliah gue bisa naik angkot" Kenzie menatap Ana dengan senyum meyakinkan, namun Ana masih tetep keukuh, menolak pendapat Kenzie.
"Abang tenang aja, aku bakal usaha buat cari uang lagi, aku bakal kerja lebih keras lagi" Ana menyemangati dirinya sendiri sekaligus meyakinkan Kenzie.
Operasi ibunya tinggal 3 hari lagi, dan Ana benar-benar bingung harus mencari uang dimana lagi.
"Bang, Ana mau pulang bentar ya, ada sesuatu yang harus Ana lakuin" Kenzie hanya bisa mengangguk pasrah tanpa bisa membantah. Jujur, dia lelah, karena dia baru pulang dari kampus dan langsung kemari untuk mengantikan ibunya menjaga tante Rani.
Ana berdiri kemudian tersenyum sekilas pada Kenzie sebelum berlalu pergi. Ana ingat memiliki sesuatu di rumah, mungkin itu bisa dia jual nantinya.
Ana mendesah keras, tapi itu barangnya yang berharga. Ana mendongak menatap ke langit yang berawan. Pikirannya kembali kalut. Namun seberharga apapun benda itu, tidak ada yang lebih berharga di dunia ini selain kesehatan ibunya.
***
Ana berjalan pelan dengan earphone yang berada di telinganya, tangan gadis itu dimasukan ke dalam saku jeans yang dia kenakan.
Jalanan kompleks rumahnya agak sepi, mungkin karena cuaca sore ini yang mendung membuat orang-orang enggan keluar rumah untuk sekedar menghabiskan waktu di taman yang kini Ana lewati.
Ah, taman itu. Ana tersenyum kecut saat ingatannya kembali mengulang kejadian dirinya yang dipermalukan oleh Kai beberapa bulan yang lalu. Tepat ditaman ini. Ana menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengusir pikirannya yang kembali mengingat kejadian pahit yang ia alami selama ini.
Ana melanjutkan langkah kakinya dengan kepala tertunduk. Sebenarnya dia harus bergegas pulang, agar dia tidak kehujanan. Melihat saat ini langitnya sudah gelap dan beberapa bulir air yang mulai berjatuhan, harusnya Ana mempercepat langkahnya, bukannya malah berdiri diam di depan pagar sebuah rumah mewah seperti ini.
Ana memandang kearah pagar tinggi nan kokoh di hadapannya. Ingatannya kembali memutar kejadian saat ia diusir dengan kasar oleh si pemilik rumah.
Ana juga ingat, dulu dia bahkan hampir tidak bisa lari keluar dari rumah ini saat Kai mengajaknya bermain. Jangankan meninggalkan rumah ini, berada di teras rumahnya pun Kai sudah marah-marah sendiri karena tidak menemukannya di dalam rumah, dan malah menemukan ia yang terduduk manis di teras rumah sambil memakan ice cream.
Ana ingat, Kai selalu mengajaknya bermain di halaman belakang rumah ini ketika mereka kecil dulu, setelah pulang sekolah dan memastikan Ana makan siang dengan benar, Kai akan mengajak Ana bermain hingga matahari hampir terbenam. Ana hanya pulang sebentar, hanya untuk mandi, dan makan malam, setelahnya Kai akan kembali menjemputnya untuk bermain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Galaksi [COMPLETED]√
Teen FictionKai sangat membenci Ana. Baginya Ana hanyalah parasit penganggu yang menyebalkan. Mengganggu kehidupannya, dan perlahan menghancurkan semunya. Baginya, Ana hanya bisa melakukan satu hal. Dan hal itu adalah menghancurkan kehidupannya. -Galasakti Caes...