3. LEVEL UP

1.3K 269 55
                                    

❝ When I'm around slow dancing in the dark
Don't follow me, you'll end up in my arms❞

❝ When I'm around slow dancing in the darkDon't follow me, you'll end up in my arms❞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku lelah dikejutkan setiap kali membuka mata.

Sinar matahari tidak bersalah sudah menyelinap masuk dan menarikku keluar dari buaian mimpi buruk, itu bagus.

Satu-satunya perkara yang membuat pusing pagi ini muncul dari rantai yang menjerat pergelangan tangan kananku ke teralis jendela.

Kali ini aku akan menghadapi apa lagi?

"Kau sudah bangun ya?!" bariton seorang pria mengejutkanku dari ruang sebelah, "Lukamu sudah diobati semua. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk bercak merah di leher." ia berdeham nyaring, "Juga di bagian lainnya."

Kujamah pipiku yang sudah dilekatkan plester, ia tidak berbohong. Perban lama pada tungkai juga sudah diganti dengan yang baru dan bersih.

Tak lama kemudian aku mendengar bunyi langkah berderap mendekat, kugertakkan gigiku meredam takut—kalau saja aku bakal bertemu pria dalam gelap yang enggan kuingat wajahnya.

"Aku membuatkan sarapan." beritahu orang itu setelah melesat masuk lalu meletakkan meja lipat yang diduduki beberapa piring ke atas tempat tidur.

Saat ia mendongak padaku, aku nyaris memekik dan menampar wajahnya.

Pria itu mengenakan kaca mata dengan sepasang iris kecil bak belati di baliknya, tajam dan mengilap.

"Maaf ya, aku sedang buru-buru dan akan pulang terlambat. Well, setiap akhir bulan pegawai kantor kami sudah dipastikan bakal lembur." ia tersenyum singkat.

Tadi malam aku melihat lesung pipit yang sama, lengkungan bibir yang sama pula.

Dijungkitkannya kacamatanya yang melorot, "Ini remote untuk menonton tv. Saluran 21 yang paling seru tapi saluran 14 juga lumayan, mereka suka menayangkan film lawas. Lalu ini kantong es untuk mengompres bekas gigitan di leher. Dan ini Vitamin, minum saja setelah makan. Terus yang di dalam toples ini khusus untuk makan siang. Dua liter air mineral cukup banyak untuk diminum sampai sore'kan?" Ia sibuk menata benda-benda yang ia terangkan sementara aku sibuk memutar otak sembari membelalak memperhatikannya.

"Rantai ini panjangnya lima meter, jadi cukup panjang untuk ke toilet. Bersantai saja, anggap kamar ini milikmu. Ok?"

Aku membalas dengan satu anggukan, masih memalingkan wajah—tak punya cukup keberanian untuk beradu tatap dengannya. Jantungku masih berdebar seakan hendak menerobos kabur dari dadaku.

Kedua kaki panjang pria itu lalu membawa ia pergi dan pada akhirnya satu lambaian kecil ia layangkan, "Bye." Lalu aroma pinus tertinggal di ruang tidur seiring dengan sosoknya yang menghilang ke balik pintu.

Aku membeku menyadari cengkraman mimpi buruk masih setia melekat. Tanpa sadar aku berada dalam mimpi buruk sepanjang hari.

Apa aku terjebak di dunia paralel—dunia yang saling bertolak satu sama lain? Atau kasus paling sederhananya mungkin aku sudah tidak waras? Tapi kengerian di malam itu benar-benar nyata, begitu pun pagi ini. Dan satu keadaan yang paling nyata dari kondisi ini adalah... aku kelaparan. Keadaan terlapar yang pernah kuderita.

Slow Dancing in The Dark | Kim NamjoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang