Bagian VI : Bukan Tentang Itu

24 4 0
                                    

Aku mengancingkan kemejaku, bersiap untuk pergi. Aku duduk di sofa, menyalakan televisi. Menonton acara kartun yang tidak cocok untuk umurku sekarang. Aku mengerutkan dahiku. Ya, aku sedang menunggunya terbangun! Dia masih saja tak bergeming dari tempat tidurnya. Omelet telur yang kubuat untuknya pun sudah mendingin. 

Pukul 10, dia baru keluar dari kamarnya. Dia tampak terkejut.

"Kenapa kau tak membangunkanku?!"
Dia bertanya dengan wajah masam, seakan dia adalah korban disini.

"Aku sudah menggedor pintumu lebih dari 15 kali dan kau hanya diam."

"Benarkah?"

Sungguh, aku benar-benar kesal dibuatnya. Dia bergegas mandi. Aku melanjutkan menonton acara kartun itu. Sial, ternyata aku masih menyukainya. 

Dia duduk di sebelahku sambil memakan omelet yang sudah terlantar sedari tadi. 

"Omong-omong, kau tidak bekerja?"

"Ah, itu. Aku sudah berhenti."

Dia hampir tersedak karena terkejut. Aku menceritakan semua yang terjadi padanya Matanya melotot padaku, walaupun matanya tak terlalu besar untuk bisa menakutiku.

"Bagaimana kau bisa membiayaiku sekolah kalau begitu?"

"Sudah kubilang, itu bukan urusanmu."

Dia membeku diam dengan mata yang tak percaya. Raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaannya dengan keputusanku. Ya, aku paham situasi ini, dia pasti tidak akan menerimanya. Apalagi dia memutuskan untuk kembali sekolah dengan aku sebagai pembiayanya. Ia pasti merasa bahwa ia telah membebaniku.

"Kau tak perlu khawatir, aku bisa mencari pekerjaan lain. Kau tau, pekerjaanku sangat tidak cocok untukku. Itu tak ada hubungannya denganmu."

Setelah beberapa lama ia memelototiku tanpa henti yang jelas membuatku merasa tak nyaman, ia akhirnya menarik nafasnya. Wajahnya masih tak terima, tapi ia sudah memalingkan wajahnya dariku.

"Oke. Tapi jika kau tak kunjung mendapat pekerjaan, aku akan berhenti dari sekolah."

"Ya, tentu."

Ia berdiri, bergegas untuk berangkat. Sial, acara kartunnya sudah habis sedari ia memelototiku tadi. Aku jadi tidak dapat fokus dengan kartunku tadi. Huh.

❀❀❀

Dia mengatakan bahwa rumah pamannya berada di tempat yang cukup jauh, jadi aku pikir akan lebih mudah jika kita naik kereta. Ya ampun, dia terlihat begitu bersemangat saat kubilang tentang kereta.

Kami menaiki kereta dengan arah menuju rumah pamannya, dan untungnya kami mendapat tempat duduk. 

Aku memperhatikannya beberapa saat. Entah mengapa, hari ini dia berbeda dengan pakaian yang kubelikan untuknya. Baju merahnya dipadukan dengan rok putih selutut, ditambah dengan pesona rambut panjangnya membuatku terpesona. Dia banyak tersenyum di kereta, mungkin karena dia belum pernah naik kereta sebelumnya. 

❀❀❀

Kami berdiri di depan rumah pamannya. Ia bersembunyi di belakangku sambil memegangi bajuku. Aku bertaruh dia tak dapat menahan tangisnya, mungkin karena kenangannya dengan ibunya. Aku menoleh ke belakang untuk mencoba menghiburnya. Tapi ternyata ia berhasil menahan tangisnya. Bahkan matanya tidak sedikitpun berkaca-kaca, walaupun wajahnya terlihat sedih. Ia memaksakan senyum padaku, mendorongku secara tidak langsung untuk maju.

Aku maju perlahan, sampai akhirnya aku berada di depan pintu itu. Ia mengikuti perlahan, tetap di belakangku. Hawa yang sungguh tak enak segera menghujam perasaanku. Aku mengetuk pintu itu dengan perasaan berhati-hati.

EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang