Bagian III : Kala Itu Matahari Terbenam

24 3 0
                                    

Aku terbangun. Kembali diatas sofa. Ah, hari ini hari Minggu, dan itu berarti hari kebebasan! Aku mendengar suara pintu berderit, dan benar saja, perempuan itu juga baru bangun dan keluar dengan wajah kerbaunya. Dia menguap, dan melempar senyum tipis kepadaku.

"Sudah merasa baikan?"

"Ya, kupikir."

Dia beranjak mandi dan setelah itu memasak, sementara aku mengisi waktuku dengan menonton televisi. 

Seporsi sup sisa kemarin yang dihangatkan kembali. Tapi entah kenapa ini menyenangkan. Aku tak perlu melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah lagi karena ada dia di rumahku. Aku menyantapnya dengan penuh nafsu. Entah kenapa, hari ini aku merasa lebih bersemangat. Tapi dia tetap makan dalam keheningan. 

"Hey."

Dia memanggilku dengan suara yang pelan.

"Ada apa?"

"Aku belum sempat berterima kasih padamu tentang kejadian dua hari yang lalu. Terima kasih telah menyelamatkanku."

Wajahnya terlihat sangat malu, tetapi ia memberanikan dirinya sendiri. Aku hanya tersenyum padanya.

"Kau cukup berat."

Wajahnya tersipu malu saat mendengar aku menggodanya, tapi kemudian memilih diam dan melanjutkan makannya.

Setelah selesai makan, aku teringat akan sesuatu.

"Kemarin kau membeli sayur supnya dengan uangmu, ya?"

Dia mengangguk pelan, lalu beranjak untuk menaruh piring kami ke wastafel. Aku berdiri mengambil dompetku, dan memberikan beberapa lembar uang padanya.

"Ini untuk uangmu yang kau pakai."

Dia melihat ke arahku, sedikit bingung. 

"Kau tak perlu melakukannya. Lagipula aku sudah tidak butuh uang."

Ah, benar juga. Aku menarik kembali uangku dan menaruhnya kembali ke dompetku.

"Permasalahannya sekarang adalah, telur di kulkasmu sudah habis."

"Ah, begitu. Kalau begitu mari kita pergi ke supermarket."

"Tidak. Aku tidak mau. Kau saja."

"Tidak bisa begitu, kau harus ikut. Kau akan mati bosan jika terus di rumah."

"Lebih baik aku mati bosan."

Cih, Aku kesal melihat wajahnya yang tanpa dosa mengatakan itu. Aku memandangnya dengan mata yang mengancam. Dia sedikit bergidik, melangkah mundur melihat seringaiku.

"Baiklah. Aku ikut."

"Oke. Kita akan pergi setelah makan siang."

"Kenapa setelah makan siang?"

"Kau akan melihatnya nanti."

Jadi aku menghabiskan waktu di rumah sambil menonton televisi, dan dia menemukan beberapa kain bekas dirumahku, dan mencoba menjahitnya.

❀❀❀

Waktu menunjukkan pukul 12, jadi aku mengambil seporsi sup terakhirku, lalu duduk di sofa. Begitu juga dengan dia. Kuakui, rasa sup ini masih luar biasa sampai akhir. Kami menghabiskan makanan kami dengan (lagi-lagi) keheningan. Lalu aku memakai jaketku, mengambil kunci motor, dan membiarkan dia memakai jaket lamaku.

 Kami pergi ke supermarket di tengah kota. Aku suka belanja disini karena barang disini lengkap, jadi aku bisa membeli apapun yang aku mau.

Aku pergi ke daerah sayur-sayuran. Aku mengambil beberapa ikat sawi dan kangkung dan memasukkannya ke dalam keranjangku. Ia muncul dengan beberapa susu kalengan di tangannya, lalu melihat sayur di keranjangku. Dia mengernyitkan dahinya.

"Apa yang kau ambil?"

"Seperti yang kau lihat, sawi dan kangkung."

"Tidak, bukan itu yang kumaksud. Kenapa kau mengambil sayur yang tidak segar?"

Dia menahan tawanya melihat wajahku yang kebingungan. Aku serius, dia menahan tawanya dengan wajah datarnya! Aku menaikkan sebelah alisku untuk menunjukkan kekesalanku padanya, dan kelihatannya dia tak peduli.

Dia lalu mengambil sayurku dan mengembalikan sayurnya pada tempatnya, lalu memilih sayur yang menurutnya segar. Aku sendiri tidak bisa membedakannya, jadi jangan salahkan aku.

Aku lalu membayar semua barang belanjaanku yang kini lebih mahal karena harus membelikannya beberapa helai baju baru, susu kalengan, dan kebutuhannya yang lain. Cih, dia seperti bayi saja.

❀❀❀

Saat kami keluar, matahari sudah hampir terbenam. Aku membawa motorku ke arah yang berlawanan dengan rumahku, tapi dia diam saja, mungkin karena memang dia tidak tahu arah jalan. Aku membawa motorku ke arah pantai. Aku pikir tidak baik untuknya selalu murung seperti ini. Setidaknya aku harus menghiburnya. Aku mempercepat motorku, karena waktu kami tidak banyak, dan perutku mulai lapar.

❀❀❀

Aku memarkirkan motorku, dan untung saja kami tidak terlambat. Aku menarik tangannya walaupun wajahnya terlihat bingung. Ah, pantai hari ini hanya kami penghuninya. Ya, mungkin karena ini bukan pantai wisata.

Aku duduk menghadap matahari yang akan terbenam sebentar lagi, dan dia mengikutiku. 

"Lihatlah, seberapa indahnya matahari saat membenamkan dirinya."

Lalu kami terdiam beberapa saat menikmati pemandangan nan indah itu, tanpa saling berbicara. 

Matanya sedikit berkaca-kaca, seperti ada sesuatu yang dipendamnya. Aku memperhatikannya beberapa saat sampai tangisnya benar-benar pecah. 

Aku mendekatinya, dan dia spontan menggenggam lengan bajuku erat. 

"Ibuku selalu ingin melihat pemandangan ini dari pantai bersamaku."

Nadanya sedikit sesenggukan karena tangisnya. Wajahnya benar-benar berantakan, menghilangkan keelokannya. Aku menggenggam tangannya yang tadi mengenggam bajuku, mencoba menenangkannya. Tapi aku memilih untuk tetap diam, karena berbicara bukan solusi untuk kali ini. Aku membiarkannya terisak beberapa saat, sampai dia kembali menenangkan dirinya. Genggaman tangannya sangat erat. 

"Maaf." 

Aku mulai berbicara karena ia sudah terlihat sedikit tenang.

"Kenapa?"

"Aku pikir membawamu kesini akan membuatmu lebih tenang, tapi itu malah membuatmu membuka lukamu. Aku minta maaf."

"Tidak. Bukan begitu."

"Maksudmu?"

"Aku bahagia. Akhirnya aku bisa melihat pemandangan ini. Walaupun kini ibu sudah tiada, tapi dia pasti melihatnya bersamaku. Aku menangis karena itu."

Aku memandang senyum lirihnya. Pipinya dipenuhi air mata lara. Aku tahu ia tak sepenuhnya jujur, tapi aku pikir dia tidak berbohong.

"Terima kasih karena telah membawaku kesini." Ia mengusap airmatanya.

Aku mengangguk sedikit.

"Ayo pulang. Kau pasti lapar, kan?"

Dia menggodaku dengan senyumnya. Senyumnya yang baru, yang terasa lebih hidup. Aku berdiri, membalas senyumannya.

"Tentu, tuan putri."

EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang