Bagian IV : Luka Yang Tertinggal

17 2 0
                                    

"Aku membuka sepatuku, masuk ke rumahku, dan melihat senyuman ibuku. Wajahnya terlihat lelah. Dia menyajikan semangkuk soto ayam, makanan favoritku. Aku duduk di meja makan, mulai menyantapnya. Ibu hanya melihatku sambil tersenyum. Semenjak kepergian ayah, ibu harus membanting tulangnya untuk hidup kami berdua. Ibu harus memutar otak untuk membiayai sekolahku yang tidak murah, dan harus mengimbanginya dengan kehidupan sehari-hari kami. Beberapa kali aku melihatnya bekerja sebagai pencuci baju atau tukang pel di rumah orang lain. 

Kala itu, aku duduk di kelas 3 SMP. Sekolahku mengadakan perpisahan ke luar kota selama 3 hari 2 malam. Saat aku mengatakan tentang biayanya pada ibu, ia hanya tersenyum.

'Tenang saja. Uang itu urusan orang dewasa. Kamu tidak perlu memikirkannya.'

Akupun tidak lagi membahasnya sampai hari itu tiba. 

☂☂☂

Aku mengikuti perpisahan itu dengan senang hati. Destinasi demi destinasi kami lewati dan nikmati bersama sebagai momen terakhir kami bersama. Kami mengambil beberapa foto, makan bersama, menikmati setiap detik perjalanan kami.

Sampai tiba hari terakhir, kami berkunjung ke pantai. Kami melihat betapa indahnya matahari terbenam di sore hari menuju malam, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa airmataku jatuh perlahan karena keindahannya. Itu adalah momen terindah kami.

☂☂☂

Aku menceritakan semua pengalamanku selama perpisahan pada ibu. Semua tentang momen indah kami, termasuk pemandangan pantai itu. Dia mendengarkanku dengan sabar walaupun aku tau wajahnya sudah terlalu lelah. Ia hanya tersenyum padaku, dan mendekatkan bibirnya ke telingaku.

'Ibu ingin sekali melihat matahari terbenam, bersamamu, dari pesisir pantai yang sepi.'

Aku mengangguk setuju padanya, dan Ia pun menyelimutiku, mematikan lampu minyak agar aku dapat terlelap.

☂☂☂

Kala itu, aku sedang duduk di kelas 1 SMA. Aku sangat senang karena ibuku bersedia membiarkanku memilih sekolah favoritku walaupun Ia tau itu akan menambah beban finansialnya. Akupun sedikit membantu dengan berjualan kue di pasar kala senggang untuk menambah penghasilan ibuku.

Pagi itu, ibuku bersorak. Mataku yang masih tersayu pun terpaksa harus kubuka. Ia memegang secarik kertas. 

'Ibu mendapatkan pekerjaan tetap!'

Wajahnya tampak berseri-seri. Aku pun turut senang karenanya, walaupun ia diterima hanya sebagai tukang sapu dan pel di sebuah supermarket. Aku sedikit kecewa karena tempat dimana ibu dipekerjakan cukup jauh dari rumahku. Tapi aku tetap membiarkannya pergi bekerja, karena Ia pergi juga demi diriku.

Ia melambai padaku sebelum membuka pintu keluar, dan aku membalas lambaiannya sambil tersenyum. Aku kemudian bergegas memakai seragamku untuk pergi ke sekolah.

☂☂☂

Malam itu, ibuku belum juga kembali. Aku sendiri di rumah. Telepon rumahku berbunyi. Aku yang masih dalam keadaan bingung pun mengangkatnya. Telepon dari rumah sakit. Aku terkejut, melepaskan genggamanku dari gagang telepon, lalu berlari ke rumah sakit itu. Airmataku jatuh tak beraturan.

Aku berlari melewati jalanan malam, masuk ke dalam rumah sakit, menyusuri koridor, dan berhenti di ruangan dimana ibuku terbujur penuh darah dan luka di sekujur tubuhnya. Ya, Ibuku pergi meninggalkanku. Ia tertabrak mobil saat mencoba menyelamatkan anak kecil yang sedang menyeberang. Ibu dari anak itu berada disini, dan menunduk serendah-rendahnya, memohon maaf padaku. Aku tak mengingat apa yang ia katakan saat itu, karena aku sudah tak bisa berpikir jernih. Airmataku sudah habis terkuras. Aku menjerit tak karuan.

Aku tertidur di koridor dengan sehelai kain menyelimutiku. Aku pikir ibu si anak itu yang memakaikannya padaku. Ah, aku sudah tak melihatnya lagi. 

Aku memutuskan kembali ke rumah, aku benar-benar tidak ingin melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Seharusnya semuanya tidak seperti ini! 

Sampai didepan rumah, aku melihat wajah pamanku. Aku sempat melihatnya beberapa kali bertengkar dengan ibuku.

'Kamu sungguh anak yang malang. Sudah jatuh miskin, kini ibumu malah meninggalkanmu hanya demi menyelamatkan bocah ingusan. Omong-omong, rumah ini propertiku yang kupinjamkan untuk ibumu. Sekarang ia sudah tiada, jadi properti ini kuambil lagi. Ambil barang-barangmu!'

Aku tak percaya ini. Ia melemparkan tas berisi dokumen-dokumen pribadiku, dan mengusirku. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. 

Aku mencoba melawannya dan mendorong agar aku bisa masuk ke dalam rumahku, tapi badannya terlalu besar untuk diterobos. Dia berdecak kesal, lalu mengarahkan jotosnya ke kepalaku. Hidungku lebam. Aku tak punya pilihan lain selain mengambil tas itu dan lari menjauh darinya.

☂☂☂

Sudah beberapa hari ini aku berjalan tanpa arah. Aku hanya memakan makanan yang kutemukan dari balik tempat sampah, atau dari orang-orang yang lewat dan menaruh kasihan kepadaku. Ah, Tanpa aku sadari aku sudah berdiri diatas jembatan besar ini.

Aku melirik ke bawah, dan ternyata ketinggian jembatan ini cukup membuatku merinding. Beberapa saat aku bimbang, sampai aku tak menyadari aku sudah beberapa jam berdiri disitu. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, menarik nafasku beberapa kali, Tapi aku masih merasa takut. Aku mencoba menarik nafasku lebih dalam lagi, mengatakan pada diriku bahwa sakitnya hanya sementara. Lalu akhirnya aku benar-benar melompat.

☂☂☂

Hei, kenapa ada yang menarik tanganku?"

EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang