4# Perihal Nama

426 29 6
                                    

Perihal nama, seringkali mudah diingat tapi sulit untuk dilupakan.

-ENGKAULAH SATU-SATUNYA-

🍂🍂🍂

"Yakin nggak mau tahu namanya?" tanya Malik dengan mata berkedip menggoda.

"Nggak," jawab Rio seolah cuek padahal dalam hatinya penasaran setengah mati.

"Beneran nih? Kemarin nanyain," goda Malik lagi.

"Nggak." Rio kekeh.

Gengsi, itulah yang ada dipikiran Rio.

Padahal asal laki-laki tahu, kadang rasa gengsi itulah yang membuat laki-laki kehilangan kesempatan bersanding dengan orang yang dicintainya. Ada orang yang lebih berani, tegas mengesampingkan rasa gengsi, dan mengutarakan niatnya untuk mengkhitbah.

Di saat seperti itulah, siapa yang berani itulah yang menang. Jangan menyalahkan takdir!

"Beneran? Nanti nyesel, aku nggak nanggung ya," ucap Malik berlagak cuek.

Kemudian Malik memutar badannya untuk kembali duduk di meja kafe tempat semula ia duduk. Ia menyeruput secangkir cappucino.

Sementara Rio di meja kasir tengah berdebat dengan logika dan hatinya. Namun perdebatan itu ternyata dimenangkan oleh logikanya, ia masih berpegang pada gengsinya.

Sampai Malik berjalan mendekati meja kasir untuk membayar. "Berapa?"

"Gratis," jawab Rio setenang mungkin.

Sesaat Malik tampak kaget. "Jangan, ntar kamu dimarahin bosmu lagi. Kan aku jadi nggak enak," ucapnya lirih.

Malik memang tidak tahu kalau caffe ini adalah milik Rio. Yang ia tahu, Rio kerja di sini sebagai kasir.

Rio tertawa melihat kekhawatiran Malik. Temannya ini memang memiliki rasa simpati yang tinggi. "Tenang aja, udah sana kalau mau pulang!"

"Ngusir nih?"

"Nggak, kalau mau nemenin aku ngasirin juga boleh sih. Sini duduk," celetuk Rio sambil menepuk kursi di sebelahnya.

"Nggak ah, aku ada kerjaan."

Malik kembali memasukkan dompetnya ke dalam tas punggung yang lumayan berat itu. Maklum ia selalu membawa laptop ke mana-mana. "Btw, makasih gratisannya."

Rio tersenyum kemudian mengangguk. "Terimakasih kunjungannya, silahkan kembali lagi," ucap Rio seperti yang selalu ia ucapkan pada pengunjung lainnya.

"Hmm, assalamu'alaikum," pamit Malik.

"Wa'alaikumsalam," balas Rio.

Kini hanya punggung Malik yang terlihat. Sementara hati Rio kembali gundah, ia penasaran dengan nama akhwat itu. Haruskah ia menanyakannya pada Malik?

"Yo," teriak Malik dari jauh.

Rio yang semula menunduk, kini mengangkat wajahnya untuk melihat Malik yang sudah sampai di depan pintu masuk. "Kenapa?" tanya Rio dengan bahasa isyarat.

"Marwah Lamatussaba."

"Siapa?" tanya Rio linglung. Bingung siapa yang Malik maksud.

"Akhwat itu," ungkap Malik dengan bahasa isyarat.

Marwah Lamatussaba.

Akhwat itu.

Ah iya, mungkin nama akhwat yang menarik perhatian Rio itu. Rio mengangguk kemudian mengacungkan jempolnya.

Sementara Malik di depan pintu tampak tersenyum miring.

ENGKAU LAH SATU-SATUNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang