Bab 1

10 1 0
                                    

*****

Kepalaku menyender pada kaca pintu mobil, Memperlihatkan jalanan yang asri, pohon hijau membuat udara semakin sejuk. Kepindahanku kebandung, Tepatnya sebuah pedesaan yang masih asri dengan hamparan sawah yang siap dipanen.

Aku menghela napas panjang, Ayah yang memaksaku masuk pesantren karena sebuah alasan, Aku mengerti dan menyetujui usulannya agar aku masuk pesantren.

Mobil masuk melewati gerbang yang kebetulan tidak dikunci, aku melihat bangunan dua tingkat yang besar namun dengan tembok sedikit kumuh karena termakan usia tetapi keseluruhannya tetap bersih.

Aku turun dari mobil agar lebih jelas memperhatikan pondok pesantren ini.

Lantai atas kuperkirakan pondok laki laki, karena terdapat sarung, baju koko yang sedang dijemur dipagar pembatas.

Tidak terlalu buruk, "Ayo cepet" ibu menyeret tanganku menuju rumah disamping bangunan tadi, dan ternyata rumah pemilik pondok.

"Assalamualaikum" Kami menunggu diteras, Mataku masih liar meneliti setiap halaman disini.

"Waalaikumsalam, Silahkan masuk" seorang wanita sepantaran ibu membuka pintu, anggun. Kata itu langsung terucap oleh batinku. Dengan gamis warna biru muda dengan khimar senada membuatnya terlihat anggun dan juga senyum ramah menyambut kami.

Kami masuk lalu duduk dikarpet merah maroon, seorang laki laki yang kuperkirakan pemilik pondok sedang berbicara dengan pemuda yang usianya diatasku. Mereka menoleh dan tersenyum ramah.

Ibu dan ayah terlihat menyalami mereka semua, tetapi aku tidak. Namun karena cubitan ibu terpaksa aku menyalami mereka, kejengkelan ku bertambah saat aku menyalami pemuda itu namun dia hanya menangkupkan tangan didada, sialan.

Kutarik kembali tanganku lalu mencubit sedikit paha ibu agar berhenti tertawa tanpa suara.

"Aya peryogi nao ?" Dengan ramah kiyai bertanya pada ayah, tentu saja aku mengerti apa yang ditanyakannya. Ia bertanya apa tujuan kami kesini. Berhubung ibu orang bandung asli, Makanya ibu selalu mengajarkanku bhs sunda, dengan alasan agar bhs tersebut tidak tergerus zaman.

Dan terjadi percakapan antara ayah dan kiyai, dengan tujuan ingin mendaftarkan ku dipesantren ini dengan keringanan agar aku tetap memegang handfhone. Karena itu perjanjian antara aku dan ayah, demi tuhan aku mahluk yang tak bisa lepas dari benda elektronik ini.

Kiyai menyetujui dengan syarat tidak menggangu jadwal mengaji. Dan setelah itu ayah dan ibu memberi petuah petuah agar aku betah disini, setelah itu mereka pulang kejakarta meninggalkan aku yang jengkel disini.

Aku melirik tiga koper besar disampingku, mereka sudah pergi. Dan aku tidak tau harus apa sekarang.

"Ayo nak amanda ikuti umi ya" Aku menoleh saat perempuan tadi memanggil, ternyata ia sering dipanggil umi.

Tanpa bicara aku mengeret dua koper mengikuti umi yang membawakan satu koperku. Kami melewati ruang tamu menuju dapur, terlihat tangga dipojok dapur. Umi membawaku kesana dan ternyata itu pondok perempuan, Umi memperkenalkanku pada yang lain.

Mereka menatapku terkejut, mungkin karena aku yang memakai jeans hitam ketat dengan atasan kemeja baby blue yang kumasukan kedalam celana, sepatu kats putih yang kutengteng dalam genggaman serta jilbab pashmina yang sengaja kusampirkan melorot ketengkuk memperlihatkan rambut panjang hitam yang ku warnai biru diujungnya.

Masih terpatri dalam ingatanku saat ibu memaksaku memakai baju gamis yang ia beli ditoko dekat rumah, namun aku tolak karena cuaca terik dan itu pasti membuatku gerah.

Tatapan mereka berubah saat umi meninggalkan kami. Terlihat ramah namun aku tau dalam hatinya tak seperti itu.

*****

Amanda membereskan koper kedalam lemari kecil yang disediakan dekat kasur lipat, tak ada ranjang. Satu kamar diisi 5 orang dan tentu saja amanda tak suka itu.

Dengan wajah kesal amanda membuka koper yang telah ia siapkan dari rumah.
Namun ia tak tau isi dua koper disamping lemari, karena ibunya yang menyiapkan kedua koper itu.

Setelah selesai dengan kedua koper yang isinya gamis serta jilbab kedalam lemari sedangkan koper yang ia siapkan hanya beberapa celana jeans dan atasan santai, ia tetap simpan dikoper karena sudah tak muat dilemari yang kecil itu.

Amanda merebahkan dirinya dikasur lipat yang sudah usang, menatap langit langit kamar membentuk bekas rembesan air yang berubah menjadi warna hitam.

Ia bosan, belum sehari saja ia sudah ingin pulang. Dengan tetap menatap langit langit akhirnya amanda terlelap.

*****

"Amanda Bangun, Sudah masuk ashar, Cepat mandi" Indah, Teman satu kamarnya membangunkan amanda, karena ia juga dapat mandat dari umi agar selalu mengingatkan amanda waktu solat dan mengaji. Karena jika umi lihat amanda kerap kali tidak bersemangat, makanya ia memberi perhatian lebih pada amanda.

Amanda mengerjapkan mata, Melirik jam yang mekingkar ditangannya menunjukan pukul 3 lewat 35 menit. Ia bergegas mengambil kimono mandinya lalu turun kebawah kekamar mandi khusus putri dekat dapur. Manda menejamkan mata sejenak saat melihat antrian memanjang sekitar 5 orang perempuan, ia melirik kamar mandi satu lagi dan hasilnya sama. Ia memutuskan ikut mengantri bersama kelima santriawati tersebut.

Setelah selesai ia mengganti bajunya dengan gamis warna navy dengan pashmina coklat muda yang ia pentul dibagian bawah dagu, kedua sisinya hanya ia ikat kebelakang. Tidak terlalu buruk, Pikirnya.

Ia turun sambil mendekap beberapa kitab yang sudah disiapkan teman sekamarnya tadi, Memasuki Madrasah dengan tenang.

Ia terpaku ditengah pintu, semua orang menatapnya kecuali santri laki laki yang memang tidak bisa melihat karena terhalangi pembatas berupa kain dengan tinggi sedada. Ia mengedarkan pandangannya, semuanya terlihat rapi dengan khimar mereka. Tak sedikit juga yang memakai niqob. Amanda jadi minder, mengapa pula ia ikat ujung pashminanya kebelakang hingga memperlihatkan sedikit lekuk tubuhnya.

Padahal santriawati memandangi amanda bukan karena lekuk tubuhnya terlihat, memang benar sedikit terlihat dan itu tentu saja tidak sopan untuk seseorang yang masuk pondok. Namun mereka menatap amanda karena kecantikan alami wanita itu, Kulit putih, hidung mancung, alis hitam dan juga bibir yang ia poles lip tint. Dengan jilbab yang dibelitkan kebelakang ia persis seperti boneka muslimah, mereka berdoa dalam hati agar amanda lebih istikomah dalam berpakaian agar lebih tertutup.

Amanda yang sudah duduk dikarpet warna hijau memperhatikan buku mana yang sedang dibahas, dan setelah itu ia hanya diam dan sedikit demi sedikit mencontoh teman yang ada disampingnya.

Assalamu'alaikum Amanda!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang