7. Why?

886 91 21
                                    

"Kau tidak bisa menyukainya, Taka!" Aimer menggeleng cepat, alisnya bertaut tanda ia benar-benar serius kali ini. Taka memandang Aimer penuh tanda tanya.

"Kenapa?"

Aimer menghela napas kecil. Ini berada diluar ekpektasinya. Seharusnya tidak begini, Taka hanya cukup melayani Yamashita Toru tanpa melibatkan perasaan. Tapi Aimer lupa, Taka hanyalah pria naif. Taka tidak pandai mengatur perasaannya sendiri, Aimer bukan orang yang anti pada hubungan sejenis. Hanya saja Aimer tahu apa yang Taka harapkan tidak akan pernah menjadi kenyataan. Walau Yamashita Toru disisinya sepanjang hari, Taka tidak akan pernah bisa meraih Toru.

Aimer hanya tidak ingin Taka terluka. Mereka berteman sudah lama, ada insting alami dalam diri Aimer untuk menjaga Taka. Meski tampaknya Taka tak membutuhkan itu. Kepala wanita malam itu berdenyut sakit, seolah baru saja dilempar dengan sebongkah batu panas.

"Dia tidak akan pernah berbalik menyukaimu." Aimer menekankan.

Taka terdiam seribu bahasa, bohong sekali jika ia tak berharap Yamashita Toru membalas perasaannya.

"Sadar Taka, kau siapa dan dia siapa. Dia hanya membutuhkan seks darimu, bukan hatimu." Walau terdengar menyakitkan, Aimer perlu mengatakannya. Ia meraih tangan Taka, mengenggamnya. Berusaha memberikan Taka pengertian.

Taka tetap diam dengan isi kepala berkecamuk.

.
.
Taka pulang ke flat dengan raut wajah tak menyenangkan. Pembicaraannya dengan Aimer tadi siang cukup menguras pikiran Taka, apa yang Aimer katakan ada benarnya. Tapi entahlah, Taka benar-benar bingung saat ini.

Taka mengerjab, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukan, Taka tidak melihat alien atau hantu sekarang. Namun Taka melihat Yamashita Toru, pria tampan itu berdiri didepan pintu flatnya memasang wajah arogan seperti biasa.

Letupan didasar hatinya kembali Taka rasakan.

"Ah." Taka tidak tahu harus menyapa bagaimana. Yamashita Toru menaikkan salah satu alisnya.

"Kau tidak membiarkan aku masuk?" Pertanyaan Toru barusan menyadarkan Taka. Dengan rasa gugup yang luar biasa, Taka mengambil kunci flat dari dalam celana jeans panjangnya. Lantas membuka pintu dan mempersilahkan Toru untuk masuk.

Taka segera membersihkan cup ramen yang tersebar diatas lantai. Toru mendengus, ia tahu penampilan Taka sangat lusuh namun ia juga tidak menyangka tempat tinggal Taka sangat kotor. Ia tak mengerti, bagaimana cara Taka menjalani hidupnya.

"Kau tinggal ditumpukan sampah?" Bahkan kamar flat ini sangat sempit. Hanya memuat sebuah ranjang kecil dan lemari pakaian yang lapuk.

Taka menekan rasa malunya. "Aku belum sempat membersihkan." Jelasnya berusaha mengelak. Toru menaikkan salah satu alis, lantas duduk diatas ranjang sempit Taka.

Toru menyodorkan sebuah kotak padanya.

"Apa itu?"

"Ponsel." Toru menjawab dengan datar. Jantung Taka berdegup dengan kencang, ia memandangi kotak itu. Dari gambarnya Taka tahu bahwa itu adalah ponsel keluaran terbaru yang harganya sangat mahal. "Yuu bilang kau memakai ponsel yang bisa membuat orang pingsan, seandainya kau melempar ponsel itu ke kepala mereka." Toru mengernyit, ia hanya mengulang apa yang Yuu katakan tentang ponsel Taka. Kenapa terdengar sangat menggelikan?

"Aku sejujurnya tidak butuh. Itu terlalu mahal dan-"

"Jika kau tidak mau, aku akan melemparnya keluar." Toru memandangnya tajam. Taka seharusnya tahu pria itu tidak suka dibantah, Taka menghela napas. Ia akhirnya menerima ponsel pemberian Toru, walau rasanya tidak nyaman.

Polaris [ToruKa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang