"Nah, sudah siap?" Tanya Ayahnya sambil memasukkan koper ke bagasi taxi. "Iya" Jawab Tiny sambil memurungkan wajah.
"Loh, kok murung?" Ibunya mendekat sambil menggandeng tangannya. "Udah deh, Tiny mau mandiri. Gausah gandeng gandeng segala, itu kan yang Ibu mau?"
Tiny masuk ke dalam taxi membawa koper dan tasnya. Saat taxi berangkat, Tiny tak mau melihat ke arah orang tuanya yang melambaikan tangan. Ia kesal.
Selain itu, ia juga lelah seusai kuliah. "Bukannya di suruh istirahat dulu, malah langsung disuruh pergi ke kosan"
Saat sampai di gedung tempat kosannya, ia menarik nafas dalam-dalam. Dia diantara perasaan sebal dan sedih. Perasaan itu tercampur aduk menjadi tak karuan lagi.
Dengan wajah murung, ia keluar dari taxi itu. Mengeluarkan koper dan tas, lalu membanting pintu taxi.
"Hei! Bayar dulu! Banting-banting lagi!" Supir taxi memarahinya. "HEH! JADI SUPIR AJA KOK SONGONG! NIH AMBIL NIH!" Tiny membentak lebih galak, supir mengambil uang itu.
Sebelum masuk, Tiny mengamati baik-baik gedung itu. Ya, sebelum ini ia memang tak pernah mengecek ruangan yang dipesannya.
Karena ia adalah anak yang tak mau membawa masalah lain ke tempat baru, maka Tiny berusaha tersenyum, lalu masuk ke kosan barunya itu.
"Dek, anak baru ya?" Seorang wanita cantik dengan rambut pirang di kuncir 2 menyapa Tiny tepat setelah ia masuk ke kosan barunya.
"Iya Kak, nama saya Tiny" Ia menunduk, memberi salam.
"Haha gak usah baku baku amat kali bahasanya, santai aja. Namaku Mary" Wanita itu memperkenalkan dirinya.
Tiny tau, ia tidak sopan bila berbahasa tidak baku. Tiny baru berumur 19 tahun, masa ia mau belagak di depan Kakak yang berumur 23 tahun?
"Tinggal di kamar nomer berapa?" , "Nomor 15 kak" Tiny menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Waduh, kan kamar lain masih kosong. Mau aja di paling atas dan pojokan" Mary berhenti berjalan dan melihat Tiny baik-baik.
"Hm... Anak yang pemberani. Kakak tinggal di nomer 6, lantai 2, paling dekat tangga. Kalau ada yang perlu ditolong, langsung aja datang" Mary tersenyum ramah.
Tiny dan Mary sampai di depan pintu kamar Tiny. "Hati-hati ya, kalau malam jangan lakuin yang aneh-aneh" , "Memangnya kenapa Kak?"
"Takut mereka yang punya gedung ini marah dan terganggu" Mary berlalu pergi.
Tiny tak terlalu menangkap apa yang dikatakan Mary, ia masuk ke kamarnya. Kamarnya cukup luas, temboknya berwarna kuning cerah.
Tiny merebahkan tubuhnya di kasurnya. "Capek juga, kuliah pagi memang yang terburuk" Ia menggerutu. "Untung besok weekend, jadi gausah ngerjain tugas kuliah hari ini"
Tiny bangun dari tempat tidurnya, lalu melihat ke sekililing.
"Gak nyesel aku ambil kos disini, udah murah, deket dari universitas, kamarnya luas dan bersih juga" Ia mengambil ponselnya, menelpon sahabatnya sembari menjatuhkan kembali tubuhnya di kasur.
"Halo? Cari siapa?" , "Alya, ini aku, Tiny". Beberapa detik telefon sunyi. Lalu di awali lagi dengan suara Alya di sana.
"Eh, sorry sorry, tadi nyokap ngajak ngobrol. Kenapa nelpon?" , "Masih betah naik angkot dan menghabiskan uang jajan buat ke Universitas?" Suara hening lagi selama 2 detik.
"Al?" , "Ya, mau gimana lagi. Rumahku kan jauh" Katanya. Tiny tersenyum. "Makanya, nge-kos aja sama aku. Sebulan cuma 500 ribu" , "E buset, mahal amat dah" Alya menanggapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE KOST
HorrorTiny baru pindah ke kosan baru, kosan yang lebih dekat dengan universitasnya. Kosan itu terlihat bagus dan murah. Tapi siapa sangka disanalah mimpi buruk Tiny dimulai. Teman psikopat, teman indigo, teman hantu. Semuanya akan memburu Tiny satu per sa...