I Choose to

25 5 10
                                    

"Argh!" erang Johnny frustrasi. Ia mengacak surainya kasar. Obrolannya dengan Mark tempo hari mendadak terngiang kembali dibenaknya.

"Ck! Gue kenapa sih," katanya jadi kesal sendiri. "Ayo dong John jangan kalah sebelum perang."

Pemuda itu menyambar jaket dan kunci motornya berniat pergi ke suatu tempat. Bukan ke tempat yang istimewa, hanya sebuah kedai kopi. Menenangkan diri? Mungkin, entahlah.

Johnny memesan secangkir espresso dan sepotong tiramisu. Ia duduk santai di bagian outdoor. Tak begitu ramai pengunjung kedai malam itu. Hanya beberapa muda mudi seusianya yang memilih di bagian indoor karena angin sedang semangatnya menyapa penduduk kota itu.

Benda pipih persegi panjang berwarna rose gold dalam genggaman. Bahkan ia sudah membuka room chat dengan seseorang. Johnny mengembuskan napas sebelum menekan panel 'kirim'. Pemuda itu sedang meyakinkan diri. Tak butuh waktu lama sebuah balasan ia terima. Tanpa sadar kedua sudut bibir Johnny terangkat, membentuk seutas senyum.

Johnny menengadahkan kepalanya ke langit. Bulan dan bintang indah bertengger di atas sana. Dalam hatinya pun berharap semoga sesuatu yang indah lainnya akan menjadi pelengkap malam ini.

Derap langkah mendekat mengusik lamunan Johnny. Pemuda itu menoleh, ada sosok yang dikenalnya. Ia melambaikan tangan. Senyumnya kembali terukir tatkala si sosok itu tersenyum lebar ke arahnya.

"Lama ya?" Perempuan itu Sila mendudukkan diri tepat di bangku yang ada diseberang Johnny. Membuat keduanya saat ini duduk saling berhadapan.

"Nggak kok. Santai aja. Udah pesen?" balas Johnny.

Sila mengangguk. "Tumben ngajak ketemu jam segini?"

"Gapapa. Pengen aja. Ganggu ga gue?"

"Nggak kok, santai aja."

Tak ada yang berbicara setelahnya. Keduanya memilih larut dalam pikiran masing-masing. Menikmati semilir angin yang perlahan mulai menelusup masuk dan menusuk kulit.

Kebisuan itu pecah kala seorang waiter datang mengantarkan pesanan milik Sila. Secangkir cokelat panas dan kentang goreng menjadi pilihan gadis itu.

"Jadi lo minta gue dateng ke sini bukan buat lo jadiin patung 'kan, John?" sindir Sila.

Johnny mengerjap, membasahi bibirnya. Pemuda itu tertawa kecil. "I have a lot of thing to tell you, Sil. Mind to hear?"

Kening Sila berkerut. Ia menyesap cokelat panasnya tenang tak berniat menyahuti. Sudah pasti dan jelas bukan jawabannya?

"Sila?"

"Hm?"

"Gue mau maju tapi gue takut."

"Takut apa?"

"Takut ada orang lain yang udah maju lebih dulu daripada gue."

"Maju kemana?"

"Ke depan lo."

Johnny yang semula menengadahkan kepala itu mendesah tatkala tak mendapat sahutan apapun dari Sila. Mau tak mau ia jadi mengalihkan pandang. Agak tersentak ketika Sila tengah memandanginya lekat.

"Lo ngomong apa sih? Ga paham gue," jujur Sila.

Pemuda itu berdecak. Lantas menegakkan tubuh. Memberikan atensi sepenuhnya pada gadis yang sibuk menghangatkan tangannya menggunakan secangkir cokelat panas.

"Dingin ya?"

"John," protes Sila karena menyadari pria seratus delapan puluh empat itu mengalihkan pembicaraan.

Entah berapa puluh kali hari ini Johnny mendesah. Ia tak mampu lagi menghitung menggunakan jarinya saking terlalu banyaknya. "Gue lagi usaha Sil tapi jantung gue tuh nggak bisa dikontrol."

"..."

Johnny terkekeh kecil. "Sil, gue kadang mau bilang sama lo."  Ia menjeda kalimatnya. Meyakinkan diri untuk kesekiankalinya. "mentang-mentang cakep bikin sayang sembarangan."

"Hm?"

Raut wajah bingung dan heran Sila itu bisa Johnny lihat dengan jelas. Bahkan gadis dihadapannya itu agak menganga. Terlihat menggemaskan untuk Johnny. Ditambah beberapa kali Sila mengerjab. Gadis itu terlihat polos dan tenang padahal biasanya menggebu-gebu.

Tubuh jangkungnya itu dicondongkan ke depan. Menyentuh meja mengikis jarak dengan Sila. Ia tersenyum, tangannya terulur menyentuh puncak kepala Sila.

"Sil, hujan itu turun bukan jatuh," kata Johnny masih dengan kedua sudut bibir terangkat membentuk lengkung senyum lebar. "Yang jatuh itu aku, dihati kamu."

Jantung Sila berdesir hebat. Tak pernah menyangka efek ucapan Johnny barusan terlalu besar untuknya. Pipinya memanas belum lagi wajah Johnny yang terlalu dekat dengannya.

"Sil, apapun jawaban lo dan setakut apapun gue, gue ga akan mundur lagi. Gue udah terlalu banyak ngulur waktu dan ngeyakinin diri. Gue ga mau nyesel nantinya. So, be mine?"

 So, be mine?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sepotong CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang