Payment

24 5 2
                                    

Andai aku tahu uluran tanganmu adalah penyesalan terbesarku,

dan

Andai aku tahu senyum manismu adalah kebencian terbesarku.

🍀🍀🍀

Aku ingat betul, hari itu musim gugur. Aku menyembunyikan wajahku diantara kedua lutut yang kutekuk, di bawah pohon beralaskan daun keoranyean yang kupikir sudah jatuh cukup lama.

Sentuhan dibahu membuatku mengangkat kepala. Kau menatapku teduh dan kau tampak seperti malaikat untukku di pertemuan pertama kita. Suraimu berwarna cokelat, bola matamu berwarna hitam, kau tersenyum lantas mengulurkan tangan. Aku terpana. Dorongan dari dalam diri memaksaku menyambut uluran tanganmu.

Kau merengkuhku, memberiku kekuatan ketika aku kehilangan segalanya. Kau pula memberiku tempat tinggal layak dan makanan yang enak. Entah berapa ribu bahkan jutaan terima kasih yang harus kusampaikan padamu untuk membalas semua kebaikanmu.

Rumahmu besar bergaya modern dengan dua patung harimau mengapit pintu masuk. Setiap sudut rumahmu kau beri hiasan guci besar bahkan lebih besar dari tubuhku.

Aku juga ingat, hari itu aku bertanya apa hobimu, dan katamu kau suka melukis. Kau bahkan menunjukkan ruang lukismu. Semua tertata rapih, bahkan lukisanmu kau susun beraturan di dinding. Semuanya abstrak dan di dominasi warna merah. Kupikir karena kau menyukai warna merah tapi nyatanya kau lebih suka warna merah muda.

Namun ketika memasuki ruangan itu aku merasa pembauku mencium bau anyir yang cukup menyengat. Kupikir benda cair berwarna merah pekat itu menempel di hidungku, tak ingin enyah bahkan ketika aku sudah berada jauh di rumah.

"Jane, ayo makan," katamu dari depan pintu.

Aku mengangguk dan bergerak menghampirimu. Kau tersenyum merangkulku tak lupa kau beri usapan lembut dikepalaku. Aku menyukainya.

"Masih sakit?"

"Tidak." Aku berbohong jika kau tahu. Mana bisa aku jujur padamu. "Um, Jaemin?"

"Ya?"

"Apa aku boleh berjalan-jalan di sekitar rumah?"

"Ya, tidak lebih dari tiga puluh menit."

Aku mengangguk. Aku tahu itu mutlak sebab kita sudah tinggal bersama enam bulan lamanya. Sedikit banyak aku tahu dirimu.

"Aku ke ruangku. Habiskan makan malammu, tinggalkan saja semuanya di sini setelahnya," katamu memerintah.

"Ya."

Punggungmu berjalan menjauhiku. Aku tersenyum miris. Menyesali kenapa aku tetap tinggal di sisimu atas semua yang terjadi.

Aku mengerang ketika rasa perih luar biasa menjalar disekujur tubuhku. Niatku ingin jalan-jalan itu mungkin akan kuurungkan. Memilih untuk melangkah menuju kamar. Kusibak rok yang kukenakan, cairan pekat berwarna merah itu menembus kain kasa yang membalut paha kananku. Kubuka perlahan lilitan itu. Aku meringis ketika jaitan itu terlepas, lukaku benar-benar menganga sekarang. Cairan bening itu menetes dengan sendirinya seiring dengan rintihanku.

Perlahan kuberi obat merah yang sejujurnya aku tak tahu untuk apa fungsinya. Aku hanya berdoa semoga luka ini segera menutup tanpa harus dijahit. Rasanya masih terasa ketika jari panjang dan hangat itu bergerak lihai menyatukan luka dipaha kananku ini.

"Jane, kau di dalam?"

Aku tersentak. Seketika panik menghampiri, membuatku menjatuhkan kotak P3K itu menimbukan bunyi cukup berisik. Tamat riwayatku ketika daun pintu itu kau buka.

Kau tampak panik menghampiri, tapi aku tahu betul raut wajah panikmu itu tak lebih dari sebuah kamuflase.

"Kenapa? Terbuka lagi?" nada bicaramu cemas. "Tunggu di sini."

Kau berbalik pergi dan rasanya aku ingin menghilang dari muka bumi ini. Namun aku tidak mampu jauh darimu. Kau adalah rumah untukku.

Kotak berwarna hitam yang kau bawa itu musuhku. Aku benci benda-benda di dalamnya. Kau mulai mengeluarkan benda berbentuk batang dengan salah satu ujung runcing yang terbuat dari kawat baja karbon tinggi berlapis nikel itu, tak lupa benangnya.

Jeritanku memenuhi ruang 4x4 yang di dominasi warna merah muda itu ketika benda itu mulai menyentuh ujung kulitku. Makin terasa sakit ketika kau mulai menusukkan dan menarik benang merapatkan lukaku.

"Tidak apa-apa, ini tidak sakit," katamu menenangkan. Kulirik wajahmu, kau tersenyum. Aku membencinya tapi kutegaskan aku tak bisa meninggalkanmu.

Penderitaanku berakhir ketika kau pergi meninggalkan kamarku. Namun nyeri bekas jahitan itu makin menjadi. Air mataku masih terus membanjiri pipi. Untuk pertama kalinya kau tidak marah aku menangis, setidaknya itu membuat hatiku sedikit menghangat.

Nyatanya aku salah, kau kembali lagi. Wajahmu datar membawa palet. "Aku ingin mewarnai lukisanku, tapi aku kehabisan pewarna merah," katamu.

Aku berteriak ketika benda tajam itu menggores permukaan kulitku. Bau anyir itu lagi. Kau pergi ketika paletmu sudah terisi penuh pewarna merah yang kau inginkan.

Meski puluhan kalipun itu masih terasa sakit seperti saat pertama kali aku mendapatkannya. Kubiarkan bau anyir itu memenuhi kamar, bahkan tak acuh ketika selimut merah mudaku menjadi merah gelap.

Aku tahu, ini pilihanku, dan ini konsekuensi yang harus aku terima. Anggaplah sebagai bayaran atas segala kebaikan yang diberikan untukku. Iya, aku membayar semuanya dengan darahku.

🍀🍀🍀

Luka sayatan hampir memenuhi sekujur tubuhku kecuali bagian wajah. Aku tidak mengerti dan tidak ingin tahu juga apa yang dipikirkan laki-laki yang kusebut rumah itu. Ia pelukis, pelukis gila lebih tepatnya. Bagaimana tidak jika ia mewarnai lukisannya dengan darah manusia. Bau anyir enam bulan lalu ketika aku menginjak tempat ini berasal dari lukisannya.

Namanya Na Jaemin. Aku tidak tahu apa yang membuat priaku menjadi seperti ini. Ya dia priaku, milikku. Namun kupikir ia mengalami sesuatu yang buruk di masa lalunya. Kepribadian hangatnya itu selalu membuatku jatuh cinta, tapi aku membencinya yang tersenyum ketika mulai menyakitiku.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepotong CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang