8

11.1K 1.2K 53
                                    

Setelah makan malam, aku dan mas Bara berpamitan pada ibu. Nggak mungkin juga aku ngajak mas Bara tidur di rumah ibu, mengingat ranjang di kamarku sudah ditempatkan di gudang.

"Mobilmu?"

Aku jual, situ protes? "Masuk bengkel."

"Rusak?"

Enggak, sesak nafas!

Aku mengangguk, dan mas Bara diam mulai kembali fokus ke jalan.

Aku pun ikut fokus, melihat dari samping kiri. Gemerlap kota Jakarta terlalu membuai, jangan percaya kalau kata orang ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.

Noh, lihat. Ibu-ibu di kota itu pada ramah, dengan kipas mengibas dan rambut semamputnya dan tubuh gemulai. Mereka semuanya tersenyum, sangat menawan.

Mobil mas Bara mulai memasuki area perumahan, rumah nomor 6 Blok A.

Aku menunggu mas bara membuka pintu, karena aku tidak tahu ke mana kunci cadangan yang selalu kubawa.

"Kuncimu?"

"Mungkin tinggal di tas Iffa," jawabku ragu. Kemudian mas Bara mengambil kunci dalam sakunya dan membuka pintu.

Aku melenggang ke kamar, membersihkan diri untuk sholat isya sebelum istirahat.

Sekali-kali double istirahat, biar lebih fresh.

Hingga aku selesai sholat Isya, belum ada tanda-tanda mas Bara masuk. Aku membuka pintu kamar dan samar mendengar mas Bara sedang berbicara.

Karena penasaran aku keluar dan mendekat, berdiri tepat di belakangnya yang duduk di sofa ruang tengah.

"Maaf." mas Bara mengusap pelipisnya, sementara ponsel menempel di telinga kirinya.

"Ada pak Mus," katanya lagi, pada orang di seberang yang aku tidak tahu.

"Celine," panggil mas Bara tanpa intonasi seakan itu peringatan, tapi tidak ada ketegasan dalam nada bicaranya.

Jadi, dia sedang melayani mantan istrinya itu? Sedangkan aku menunggunya di kamar untuk berbicara.

"Kalau Mas masih suka, kenapa harus terima permintaanku?" aku hampir menambahkan kata konyol di depan kalimatku.

Mas Bara berbalik, matanya menatapku datar dan memasukkan ponselnya dalam saku celana.

"Belum puas? Gandengan tangan, makan malam bareng, sekarang mau ketemuan lagi?"

Nafasku memburu, menahan gejolak yang tiba-tiba ingin meledak saat nama mantan istrinya kudengar.

"Kalau Mas mau rujuk, bisa ngomong baik-baik. Jangan buat aku seperti ini. Aku masih muda, masih cantik, banyak yang ngantri!!!"

Nafasku memburu, dengan detak jantung tak beraturan disebabkan emosi yang baru saja kutumpahkan.

Mas Bara sudah berdiri di depanku, menatapku dengan kening mengkerut. Sedang aku, membalasnya dengan tajam.

"Aku bawa singkong," kata mas Bara, yang otomatis membuat emosiku kembali mendidih.

Singkong? Ia keluar dengan kunci mobil di tangannya.

Aku jelas melongo dengan darah naik turun, mengisi dan mengosongkan pembuluh dalam waktu bersamaan.

Tidak lama, mas Bara masuk dengan sebuah kantong plastik biru di tangannya.

"Bikin kolak." plastik itu terarah padaku.

Jadi benaran ini tentang singkong?

"Kenapa nggak nyuruh mantan istrimu? Nempelin Mas saja dia mau!"

Bukan suami impian ✔                                                         Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang