Pamit

15 5 0
                                    


"Kepergian itu menimbulkan rasa sakit. Apalagi meninggalkan seseorang yang kita sayang dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun, apa yang bisa diperbuat apabila kepergian itu menuntut kita untuk menuju masa depan?"

Ponsel Kynaya bergetar, dia meraih benda itu di nakas. Diusapnya, lalu dia mengangkat panggilan dari seseorang.

"Hallo, iya, iya. Yaudah, aku siap-siap ya. Oke." Gadis itu menutup panggilannya.

Ternyata, panggilan itu dari Hendrix Wijaya. Kekasihnya mengajak ketemuan untuk makan malam di luar. Bergegas gadis itu langsung mengganti pakaiannya lalu siap-siap agar selalu tampil cantik di depan Hendrix. Gadis itu mengenakan setelan long dress berwarna biru muda polos serta hijab yang senada dengan long dress yang dia kenanakan. Tidak lama kemudian, seseorang yang dia tunggu datang juga. Kynaya pamit pada ibunya untuk keluar sebentar dengan Hendrix. Seperti biasa, Hendrix selalu pamit pada ibunya Kynya. Hendrix memang lelaki yang sopan, pantas saja ibunya Kynaya suka dengan Hendrix. Bahkan, ibunya Kynaya tidak pernah melarang Kynaya berhubungan dengan lelaki kelahiran tahun 97 itu.

Mereka tiba di rumah makan Pondok Santai. Hendrix dan Kynaya menuju meja nomor 23. Setelah mereka menghempaskan punggung di lesehan, Hendrix melambaikan tangannya memanggil pelayan rumah makan tersebut. Setelah pesanan mereka diantar, Hendrix dan Kynaya menikmati makanan serta minuman yang mereka pesan.

"Aku mau ngomong sesuatu," kata Hendrix sambil memasukkan nasi goreng ke mulutnya.

Kynaya menghentikan kunyahannya. "Ngomong apa?"

"Aku ke Pekan Baru ya," katanya pelan.

Kynya mengerutkan dahi. "Ngapain?"

"Sebelumnya, aku minta maaf. Aku udah bohong sama kamu, selama ini aku bukan ambil cuti selama tiga hari, tapi aku udah enggak kerja lagi."

Kynaya menatap lekat manik mata Hendrix. "Apa?"

"Maafin aku, aku memang udah enggak kerja lagi. Di sini gajinya sedikit, kalau aku ke kota Pekan baru gajinya lumayan besar."

Sejenak, Kynaya bungkam. Dia melanjutkan kunyahannya. Dia seperti tak mampu menelan sisa makanan yang ada di mulutnya. Dia lagi asyik menikmati makanan, tiba-tiba Hendrix mengatakan sesuatu yeng mambuatnya bersedih.

"Hmmm kamu ngasi aku pergi, kan?" Hendrix melanjutkan ucapannya.

Kynaya meneguk minuman untuk melarutkan makanan yang seolah masih tersangkut di tenggorokannya. "Kalau aku enggak kasi izin, percuma, kamu akan tetap pergi, kan?" ucap Kynaya telak.

Hendrix diam, dia sebenarnya tidak sanggup mengatakan hal itu. Tapi, dia memang harus pergi. Lagian dia pergi juga untuk masa depan mereka. Dia bekerja karena memang semata-mata untuk Kynaya. Mereka sudah berjanji kalau Kynaya lulus kuliah, Hendrix akan melamarnya. Berhubung Kynaya masih kuliah, sementara Hendrix mengumpulkan uang untuk melamar Kynaya.

"Aku janji, aku akan selalu menghubungi kamu di sana. Aku juga akan selalu memberi kabar. Lagian, setahun sekali aku pulang. Aku enggak akan mengecewakan kamu."

Kynaya tidak tahu dia harus apa. Marah, kecewa atau sedih? Tapi yang pasti bola mata Kynaya mulai berkaca-kaca. Ingin rasanya gadis itu menumpahkan segala isinya. Kynaya Sandrina−ia ingin menangis−tapi ditahannya. Mana mungkin Kynaya menangis di tengah-tengah keramaian seperti ini. Bisa-bisa dia menjadi pusat perhatian pengunjung.

"Yaudah kalau mau pergi." Kynaya berusaha kuat agar dia terlihat tegar.

"Udah jangan nangis, aku janji aku selalu menghubungi kamu. Dan tahun depan aku pulang ke sini."

KYNAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang