❀10 - Broken

26K 3.5K 460
                                    

Aku mengerjap beberapa kali, berusaha untuk menyesuaikan sinar matahari yang memaksa masuk dari sela gordyn kamarku.

Sejenak, aku melirik sebuah figura diatas meja. Ada aku, ketujuh anak laki-lakiku, dan seorang pria yang dulunya pernah berjanji untuk menjagaku sampai mati.

"Maaf, Jeanna hamil anakku. Aku cinta dia."

Mataku terpejam kala rasa sakit itu datang lagi.

Aku bukan orang yang dengan mudahnya membagi milikku ke orang lain. Tapi, kalau sahabatku, aku bisa apa?"

Sedikit flashback. Waktu itu, aku tengah mengandung si kembar bungsu. Umur kandunganku enam bulan.

Disaat aku sedang bersantai dirumah, sambil menunggu suamiku pulang kerja. Tiba-tiba, dia datang. Bersama sahabatku, Jeanna.

Dan, ya. Laki-laki itu megatakan kalau Jeanna hamil anaknya, dan dia mencintai sahabatku.

Aku—

"Buna?"

Aku menoleh kearah pintu yang terbuka sedikit. "Kenapa, sayang?"

Jaemin dan Jeno masuk.

"Buna kenapa?" tanya Jeno.

"Hm? Buna gak kenapa-kenapa, kok."

Mata Jaemin menyipit. "Buna bohong?"

Aku tersenyum tipis. Tanganku terulur untuk mengelus surai mereka.

"Buna cuma kepikiran tentang... "

"Ayah?" Jaemin menyela ucapanku. Lagi-lagi, aku tersenyum.

"Buuun."

Mendengar suara Jeno, aku sontak menggeleng pelan. Aku sudah hafal apa yang akan ia katakan jika ini menyangkut ayah mereka.

"Mereka tetap ayah kalian. Pria yang pernah buna cintai."

Jeno menghela nafas, sepertinya merasa lelah denganku.

"Nana gak mau liat buna kayak gini terus."

Aku terdiam, sambil menatap wajah Jeno Jaemin. Aku baru sadar, mereka sudah tumbuh dewasa. Dan aku harap, kelakuannya nanti tidak mengikuti jejak ayahnya.

"Oh ya, kalian mau ngapain pagi-pagi ke kamar buna?" tanyaku, mengalihkan topik.

"Kami mau izin pergi nge-gym."

"Sama siapa aja?"

"Kami bertiga doang sama abang."

Aku mengangguk. "Yaudah, hati-hati. Bilang abang, bawa mobilnya jangan ngebut."

"Siap, bun!"

•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•

Aku memasuki kamar Chenle dan Jisung, berniat untuk membangunkan mereka.

Namun, sesampainya dikasur si bungsu. Aku hanya menatap wajah polos mereka.

"Buna, kemarin Daehwi dibeliin sepeda sama ayahnya."

"Oh, ya? Lele mau sepeda juga?"

Chenle menggeleng sambil memilin jarinya. Sesaat setelahnya, Chenle menatapku berbinar.

"Lele mau ayah."

Saat itu, aku hanya tertegun. Bingung mau menjawab apa.

"Ayah gak sayang Lele ya, bun? Lele nakal ya?"

Aku menggeleng kuat, kemudian mengangkat tubuh kecil Chenle untuk kugendong.

"Lele gak nakal kok. Lele kan anak baik."

"Tapi, kenapa ayah gak mau ketemu Lele?"

Aku menghela nafas. "Ayah lagi kerja. Buat kita semua, buat makan, buat beli bajunya Lele sama kakak-kakak."

Saat itu, Chenle langsung melebarkan senyumnya.

"Beneran, bun?!"

"Iya, sayang. Yaudah, Lele main sama mas Haechan dulu, ya."

Aku langsung menurunkan Chenle dari gendonganku.

"Lele main sama mas ya, bun. Dadah."

Lamunanku buyar ketika Jisung tiba-tiba duduk dikasurnya.

"Buna?"

"Adek kenapa? Kok kayak yang kaget gitu?" tanyaku.

Jisung menggeleng pelan, kemudian merangkak mendekatiku dan memelukku.

"Adek mimpi ketemu laki-laki," kata Jisung pelan. "Dia ngaku ayahnya Icung."

"Hm?"

Hanya itu yang dapat keluar dari mulutku. Sungguh, aku hanya bingung untuk menjawab.

"Tapi Icung gak bisa liat mukanya jelas," lanjut Jisung. Kepalanya mendongak, mencoba untuk menatapku.

"Icung udah empat belas tahun, ayah kerjanya lama banget."

Setelahnya, aku hanya bisa terdiam sambil memeluk Jisung yang kembali tertidur dipelukanku.

Tbc.

Bᴜɴᴀ | 𝐍𝐜𝐭 𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦 𝐎𝐭.7 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang