3. hai bitch!

1.2K 140 7
                                    

WARNING!
CERITA INI MENGANDUNG KATA-KATA KASAR.
TERIMA KASIH.

**
Dhea menyelesaikan presentasinya dengan berwibawa.
Hari ini ia mengadakan suatu event di galerry lukisannya yang terletak tak jauh dari apartmentnya.

Dhea itu seorang pelukis. Ia telah menggeluti bidang itu selama kurang lebih dua tahun.
Setelah di nyatakan sembuh dari koma-nya dulu, ia tak melanjutkan sekolah formal. Tetapi, ia memasuki sekolah seni berkat Jefri tentunya.

Jefri itu bagaikan super hero-nya, Dhea.
Dhea begitu bersyukur memiliki kakak yang menyayanginya.
Jefri telah bekerja keras untuk menghidupinya selama ini. Jadi, Dhea akan melakukan yang terbaik untuk membuat Jefri bangga.

Dhea berjalan dengan anggun menuju ke arah Iqbaal yang menatapnya takjub.

Hari ini, Iqbaal memutuskan untuk mendatangi tempat dimana adiknya itu memberi alamat saat di hotel tadi pagi.

"Lo datang, Baal?"

Iqbaal tersenyum.
"Galerry ini milik kamu, dik?" Tanyanya.

"Milik abang gue." Balas Dhea sembari membalas cipika cipiki dari tamunya.

Iqbaal menatapnya tak suka. Adiknya itu, sedang memakai dress pendek. Dan Iqbaal sangat membenci itu.

"Sudah selesai kan acaranya?"

Dhea mengangguk.

"Bisa ikut abang sebentar?"

Dhea menurut saja tatkala Iqbaal menariknya pergi dari tempat itu.
Tatapan Iqbaal, begitu meluluh lantahkan sifat Dhea yang pembangkang.

**
Iqbaal mengajak Dhea ke sebuah butik. Ia memilihkan baju yang pantas dan sopan untuk sang adik.

"Kamu nggak boleh pakai baju seperti itu lagi! Abang akan belikan baju yang pantas untuk kamu pakai."

"Ini style gue. Lo nggak berhak ngatur-ngatur gue!"

Iqbaal menatap Dhea tajam. Dan Dhea membalasnya dengan tatapan tajam pula.

"Aku ini abang kamu. Jadi, aku berhak untuk itu!"

Dhea menepis tangan Iqbaal dengan kasar. Ia menatap Iqbaal sengit.

"Sudah berapa kali sih gue bilang Baal, abang gue cuma satu."

"Kamu ngelupain abang dek."

"Oke, oke kalau lo masih kekeh sama ucapan lo. Tapi, gue butuh bukti. Gue akan percaya jika lo punya bukti," ucap Dhea dengan santai, sembari menatap Iqbaal yang tampak menahan emosi.

Ponsel Iqbaal berdering saat ia akan menunjukkan suatu potret kepada Dhea.

Iqbaal mendengus, membaca nama yang tertera dalam ponselnya.

"Lo dinama? Gue dapat laporan dari eyang kalau lo seminggu ini bolos kuliah.
Jangan macam-macam deh Baal."

"Gue nggak macam-macam. Gue hanya mencoba untuk memperbaiki diri."

"Lo belajar dengan baik disana saja, sudah selangkah untuk memperbaiki diri, Baal."

"Udah cukup bang! Lo mau mengikuti jejak ayah yang selalu mengekang?
Gue hanya berusaha memperbaiki kesalahan gue di masalalu bang."

"Maksud lo apa, hah? Lo dimana sekarang?"

Tut.. tut..

Iqbaal mematikan sepihak sambungan telepon.
Ia muak dengan abangnya yang juga menuntutnya untuk menjadi hebat.

Dhea menatap Iqbaal dengan khawatir, tatkala wajah tampannya menampilkan ekspresi lelah.

"Lo baik-baik saja, Baal?" Tanyanya sembari mengelus tangan Iqbaal.

Iqbaal menatapnya. Kemudian, Iqbaal membawanya ke dalam pelukan hangat Iqbaal.
Dhea merasa nyaman. Ia merasa terlindungi.

Dhea rasa, ia pernah merasakan pelukan nyaman ini.
Bukan, Jefri memiliki porsi tersendiri untuk ini.

"Biarkan seperti ini dulu, (Nam..)." Ucapan lirih Iqbaal, membuat Dhea refleks membalas pelukannya.

"Dhea, Iqbaal!
Jadi, lo kesini, untuk liburan apa sedang lari dari masalah?"

Saat ini, sepasang kakak beradik itu sedang berada di salah satu caffe. Setelah pelukan terlama yang terjadi beberapa menit lalu.

"Bukan dua-duanya," jawab Iqbaal.

"Lantas?"

Iqbaal menatap Dhea yang sedang menyeruput cappucino.

"Aku sedang mencari seseorang yang berhasil membuat ku hidup dalam penyesalah selama tiga tahun ini."

"Oh, jadi lo dulu seorang pendosa?" Tanya Dhea santai.

Iqbaal menatapnya aneh.
"Nggak juga. Dulu, hanya kesalah pahaman yang membuat hidupku berubah."

Dhea mengangguk mengerti.
"Jadi, seseorang yang lo cari itu siapa?"

"Kamu."

Dhea membolakan matanya sembari menunjuk dirinya sendiri dengan bingung.

"Gue?"

Iqbaal mengangguk.
"Iya. Adikku."

"Lo ngelantur mulu deh Baal. Udah ah, gue udah bosen sama lo.
Besok ketemu lagi, biar nggak bosen. Bye.."

"Sebenarnya ada apa denganmu sih, dek.
Kenapa kamu tidak mengenali abang sama sekali?
Apa dosa abang begitu besar, sampai kamu melupakan abang?"

**
"Dhea."

Dhea menoleh, di dapatinya kedua temannya yang sedang berjalan ke arahnya.

"Why?" Tanyanya.

"Ini foto lo, kan?" Ester menunjukan suatu potret.
Dhea membolakan matanya. Menatap ponsel Ester yang menampakkam foto dirinya dengan Jefri dan juga Iqbaal.
Difoto itu, dirinya masih sangat polos.
Dan Dhea yakin, foto itu di ambil sebelum tiga tahun yang lalu.

"Ini cowok yang lo cium waktu itu, kan?"

"Lo dapat foto itu darimana?"

"Dewa. Sahabat abang lo. Dia kan deket sama gue. Nah, nggak sengaja gue lihat ponselnya," jelas Ester.

"Gue harus temuin Dewa."

"Lo goblok banget sih, Dhe.
Mana mau Dewa jawab."

Sepertinya Dhea tak asing dengat kata 'goblok'
Entahlah, ingatannya untuk beberapa hari ini sedikit mengganggunya.

"Kenapa nggak mau jawab?"

"Duh, Dhea.. lo fikir deh, foto itu di hp Dewa udah berapa lama?
Terus kalau dewa udah tau lama, kenapa dia nggak datangin lo dan jelasin semuanya ke lo?"

"Tau ah. Ucapan lo terlalu susah untuk gue cerna.
Ester, kuy kita minum."

Dhea menarik tangan Ester dan menginggalkan Emina yang mendengus kesal.

"Padahal, lo bisa tanyakan itu ke Jefri, Dhe." Pernyataan Ester membuat Dhea menatapnya dengan senang.

"Lo pintar juga ya. Baru nyadar gue."

Ester mendengus.
"Kalau nggak pintar, mana mungkin Dewa mau deketin bitch macam gue."

"Sebahagia lo lah, bitch."

Mereka sama-sama tertawa. Tidak merasa sakit hati kara mengatai 'bitch'
Karena kata itu adalah lelucon, menurut tiga sahabat itu.

"Tungguin gue, anjing." Emina berlari menyusul.

"Yeu... si tai emang, Emina."







REVISI SEBELUM NEXT

BAD (sequel 'Namakamu')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang