4. Jadian?

1.3K 158 13
                                    

WARNING!
CERITA INI MENGANDUNG KATA-KATA KASAR.
TERIMA KASIH.

**
Gadis dengan hotpans hitam serta kaos putih tanpa lengan itu berjalan dengan santai menuju satu meja di sebuah caffe.
Wajah cantiknya membuat para pria yang berada di sekitarnya tak mengalihkan perhatiannya darinya. Seakan ada magnet tersendiri dari dalam tubuhnya.

Gadis itu mendudukan bokongnya. Atensinya menatap seseorang yang duduk tepat di depannya yang terhalang meja.

"Jadi, dimana abang gue?" Tanyanya kepada pria berkeperawakan tinggi nan tampan itu. Sebut saja Kevin. Teman busking Jefri dulu.
Sekarang, Kevin telah sukses menjadi komposer lagu.

"Mana gue tahu!"

Dhea mengepalkan tangannya. Menatap Kevin dengan sebal.

"Jangan coba buat gue emosi deh, bang."

Bangsat bangsat begini, Dhea masih punya etika dengan sahabat Jefri.

Kevin memamerkan gigi putihnya yang tertata rapi.
"Dua hari lagi baru pulang. Nggak jadi hari ini.
Lo nggak di telpon?"

Dhea menggeleng.

"Yaudah gue pulang." Dhea beranjak. Ia teramat kecewa dengan abang satu-satunya itu.

Kevin menahan tangannya.
"Buru-buru amat. Temenin gue makan bentar dong."

Dhea melirik Kevin sinis.
"Ogah."

"Gue tlaktir deh. Lo boleh pesen sepuas lo."

Setelah mendengarkan pernyataan kevin yang menggiyurkan. Dhea berdecak senang.
Senyum manisnya terukir indah. Dan tanpa sengaja, Kevin mengacak rambutnya gemas.
Mereka tampak seperti sepasang kekasih yang sedang memadu kasih.

Dan tanpa mereka sadari, kebahagiaan mereka membuat satu hati merasa sakit. Dia, gadis yang duduk tak jauh dari mereka yang tampak bahagia.

**

Iqbaal sedang berada di rooftof gedung apartment yang di tinggalinya.
Ia memejamkan mata, menikmati semilir angin yang menyegarkan.
Sejenak, ia bisa lupa dengan masalahnya.

Ia teringat dengan perkataa Dewa tadi.
Dewa mengatakan bahwa Dhea, adiknya itu amnesia permanen.
Iqbaal terpukul untuk itu. Tetapi, Dewa memberinya pengertian jika adiknya lupa ingatan adalah berkah.
(Namakamu)nya akan lupa masalalu yang kelam itu. Dan Iqbaal sedikit bersyukur untuk itu.

Yang Iqbaal sesali adalah, kenapa Dhea melupakannya dan tidak ingat akan dirinya.
Ia sangat sedih untuk itu.

Suara dering ponsel menyadarkannya dari meditasinya.
Dilihatnya puluhan panggilan dari abangnya dan keluarganya di indonesia memenuhi benda pipih itu.
Iqbaal berdecak, di lemparnya ponsel itu dengan kesal.

"Aarggghh," erangnya. Dan beberapa menit kemudian, ia meraih jaketnya yang ia geletakkan asal. Dan mengambil ponsel yang tak berbentuk itu.

Iqbaal harus menyelesaikan semuanya. Iya, harus!

**
Kaki jenjangnya memasuki galerry lukisan milik Dhea.
Ia menghampiri seorang karyawan yang sedang berjaga.

"Permisi, apakah (Namakamu) berada disini?"

Karyawan cantik dengan balutan seragam ketat itu tersenyum centil, melihat wajah tampan Iqbaal.

"(Namakamu)?"

"Oh, maaf. Maksut saya, Dhea."

"Bos sedang berada di ruang kerjanya."

"Saya ingin menemuinya."

"Apa anda sudah membuat janji."

Iqbaal berdecak.
"Tidak perlu janji. Saya kakaknya."

Mata karyawan itu membola. Lalu ia tersenyum kikuk.
"Maaf tuan. Mari saya antar."

Iqbaal memasuki ruangan luas yang terdapat banyak kanvas yang kosong.
Dilihatnya siluet adiknya yang berada di sudut ruangan menghadap jendela, dan sedang melukis sesuatu.

Di hampirinya Dhea. Iqbaal memeluknya dari belakang. Menghirup aroma rose dari adiknya.
Ah, adiknya ini sudah besar. Bukan (Namakamu) yang berbau stoberry lagi.

Dhea  terlonjak kaget. Ia reflek menghempaskan pelukan Iqbaal dan berbalik kebelakang.
Dhea membolakan matanya. Menatap Iqbaak tak percaya.

"Lo, lo kenapa peluk gue? Lo udah tolak gue mentah-mentah ya!
Udah nidurin gue dan marah-marah lagi," ucap Dhea kesal.
Iqbaal terkekeh.

"Maaf," ucapnya.

Dhea memincingkan matanya.
"Jadi, lo udah terima gue jadi pacar lo?"

Iqbaal terdiam sebentar sebelum mengangguk.

Tidak, Iqbaal tidak mencintai adiknya sebagai seorang perempuan.
Ia masih Iqbaal yang memandang Dhea sebagai adiknya. Karena memang Dhea di takdirkan untuk itu bukan!

Iqbaal hanya harus melakukan ini. Iqbaal harus membuat adiknya menjadi seperti dulu.
Tidak, tidak (Namakamu) yang selalu terintimindasi.
Tapi, menjadi (Namakamu), si gadis pendiam, polos, dan lembut.

Iqbaal butuh waktu untuk membuat (Namakamu)nya kembali. Sebagai (Namakamu), bukan sebagai Dhea.

"Hah, benar? Jadi, lo pacar gue?" Pekik Dhea tak percaya. Dan lagi-lagi, dibalas anggukan oleh Iqbaal.

"Aku.. kamu! Paham!"

Dhea mengangguk kegirangan.

"Jangan senang dulu! Aku punya standar perempuan yang harus kamu ikuti."

Dhea mengerutkan dahinya sembari menatap Iqbaal dengan tatapan bertanya.

"Aku tidak suka perempuan yang memakai pakaian kurang bahan seperti itu." Iqbaal menunjuk Dhea dengan matanya. Dan membuat sang empu mendengus kesal.

"Aku juga tidak suka perempuan yang suka mengumpat. Serta, tidak pergi ke clubbing dan harus menjauhi alkohol jenis apapun."

"Jika cinta, lo harus menerima apa adanya," sahu Dhea kesal.

"Aku.. kamu, Dhea!"

"Ya..ya..ya.. kamu," ucap Dhea dengan malas.

"Aku ingin pasanganku menjadi lebih baik.
Jika tidak terima, ya sudah."

"Baiklah, baiklah, aku akan turuti."

"Aku ingin bertanya! Apa kamu punya agama?"

"Oh, agama! Eumm.. muslim, iya, muslim.
Aku pernah di ajarkan abang gerakan-gerakan itu. Tapi sudah lupa." Dhea menunjukkan gigi gingsulnya yang terlihat manis.

Iqbaal mendengus.
"Aku akan mengajarimu mulai dati sekarang."

"Huh, jadi, kapan kencannya kalau begitu?"

"Kita bisa melakukannya kapan saja, Dhea."

"Janji." Dhea memekik sembari menyodorkan jari kelingkingnya.
Iqbaal menautkan jari kelingkingnya dengan milik Dhea.

"Tentu."

"Kalau begitu, aku akan pulang dulu. Abang ku akan pulang setelah seminggu bekerja di luar kota.
Jadi, sampai jumpa, sayang."

Cup..
Sebelum pergi, Dhea memberikan satu kecupan di pipi kanan Iqbaal.
Dan Iqbaal menganggapnya sebagai ciuman seorang adik.
Karena memang Dhea adiknya, kan!


REVISIS SEBELUM NEXT.

BAD (sequel 'Namakamu')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang