Bab 2. Oke Kita Taruhan

2.1K 207 7
                                    

Jangan lupa meninggalkan vote, komen, saran dan kritik
Publish on. 5 Juli 2023
Selamat membaca ^^

Evant menghempaskan tubuhnya begitu saja di kursi kerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Evant menghempaskan tubuhnya begitu saja di kursi kerja. Masih jelas terlihat di wajahnya sisa-sisa kekesalan semalam, siapa lagi yang membuatnya kesal kalau bukan Jingga. Tadi malam sesampainya di rumah, adik bungsunya itu langsung mengadu ke mamanya karena sepanjang jalan terus memarahi Jingga. Perlu kalian ketahui. Evant tidak memarahi Jingga, tetapi hanya menasehatinya dengan sedikit keras. Ia rasa tidak ada salahnya mengingatkan adiknya itu agar tidak banyak bermain mengingat nilai pelajaran Jingga tidak pernah memuaskan. Beda dengannya atau pun Cakra yang selalu mendapat peringkat pertama, Jingga bahkan tidak mampu masuk rangking lima besar. Itu yang membuat Evant sering kesal pada adiknya itu.

Mengesampingkan rasa kesalnya, Evant meraih koran pagi yang sudah tersedia di atas meja. Ia membaca sekilas berita apa saja yang ada di dalam. Tidak ada yang menarik, semua berita masih menyiarkan penyakit Covid-19 yang semakin hari sudah semakin surut. Ya itu berita bagus juga untuk pengusaha seperti dirinya, karena produksi akan kembali meningkat imbas dari perekonomian yang mulai bangkit. Tepat saat ia meletakkan koran kembali ke atas meja, Evant melihat Ayu masuk membawa berkas di tangan.

"Selamat pagi bosku yang sok ganteng," sapa Ayu dengan suara cemprengnya yang langsung memenuhi ruangan itu.

"Gue ganteng dari lahir, ok," sahut Evant.

"Kata siapa? Papa lo lebih ganteng," cibir Ayu.

"Please ya, jangan mulai," hardik Evant malas.

Ayu terkekeh mendengar peringatan Evant. Ia meletakkan berkas yang harus diperiksa dan di tanda tangani Evant ke atas meja. "Kerjaan hari ini numpuk banget, Bosku. Cepet dikerjain ya, biar gue nggak lembur mulu."

"Yang jadi bos di sini sapa sih sebenernya?" gerutu Evant sambil menarik berkas yang baru saja diberikan Ayu padanya. Ia memeriksa berkas itu sekilas, sambil mengibaskan tangan mengusir sekretarisnya itu. Sepertinya ia tidak akan pernah ada waktu yang dilewatinya, tanpa bebas dari kesibukan memeriksa kertas-kertas yang menggunung setiap datang ke kantor.

Tahu Evant sudah mulai serius, Ayu melenggang keluar. Baru sampai di ambang pintu, ia teringat sesuatu. Kembali ia membalikkan badang, menatap Evant dengan wajah serius. "Vant, tadi satpam di bawah bilang kalau mobil pesananmu udah datang."

Evant mendongakkan kepala, berpikir sejenak. "Ah..." akhirnya ia ingat, "semalem gue pesan mobil."

"Tumben lo suruh kirim ke sini?" tanya Ayu melipat kedua tangannya di dada.

"Gue mau pamerin ke lo," jawab Evant memamerkan senyum miringnya.

"Gue nggak percaya. Biasanya juga lo pamernya di rumah," cibir Ayu, "jangan-jangan lo pake duit perusahaan buat beli mobilnya," lanjutnya menuduh Evant.

"Enak aja. Gue belum miskin," dengus Evant kesal. Ia beranjak dari kursi, berniat melihat sebentar mobil pesanannya semalam di bawah. "Ayo."

Evant langsung menarik tangan Ayu dan menyeretnya ke tempat mobil barunya berada. Sepanjang jalan mereka berdua membuat keributan seperti biasa, sampai-sampai para pegawai yang melihat mereka hanya bisa menggeleng tak habis pikir dengan tingkah bos dan sekretarisnya itu. Namun tidak sedikit pula karyawati yang merasa iri dengan Ayu yang begitu akrab dengan bos tampannya itu.

Kiss of the EveningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang