Seperti biasa aku bangun jam 4 pagi, membaca beberapa tumpukan novel yang hampir setiap malam minggu kubeli, di toko buku yang tidak jauh dari keberadaanku saat ini. Aku akan mulai membacanya setelah merapikan tempat tidurku, tentunya. Sebenarnya aku bisa membaca tumpukan kertas yang tebal ini setiap waktu, tapi entah aku tak suka itu. Aku lebih suka membacanya diwaktu akan tidur dan setelah bangun tidur. Ya seperti itu.
Aslinya, aku bangun sepagi itu tidak kemauanku sendiri. Lebih tepatnya aku bangun karena di setiap jam 4 pagi ada yang selalu menggedor-gedor pintu kamarku. Bayangkan, ketika kamu tertidur pulas dan ada yang menggedor-gedor pintu kamarmu bukankah itu sangat mengganggu? Iya itu yang kualami, awalnya. Tapi kini sudah sedikit tidak terganggu, katena itu sudah sering. Dan akhirnya aku membuka beberapa novel dan mulai membacanya jam 4 pagi itu.
Tak ada suara dari luar, mungkin semua masih berada di alam bawah tidur. Iya lah, siapa pula yang akan terbangun disaat udara dingin masih menyelimuti tubuh. -aku saja sedikit terpaksa- Yang bangun kini hanyalah aku, bersama dengan detak jam di atas meja belajar yang tak pernah tertidur, setumpuk kertas berisi misteri ini lebih tepatnya kumpulan imajinasi manusia yang bernyawa di negeri ini, dan yang menggedor-gedor pintu kamarku atau mungkin ia juga tertidur kembali.
Ternampak beberapa judul buku baru dengan cover yang menarik hatiku tersusun rapi di dalam tas sekolahku, yang sedari kemarin belum sempat kutata di rak buku. Tapi entah aku tak mempunyai niatan untuk membacanya, meski itu jelas-jelas novel yang baru aku beli sepulang sekolah kemarin. Aku malah tertarik untuk meraih novel yang berada di atas lemari. Entah itu novel dengan judul apa aku tak mengerti, yang aku dapati hanyalah buku itu bersampul warna hitam. Hah? Hitam. Sejak kapan aku mempunyai novel dengan sampul berwarna hitam. Aku sedikit ragu itu apakah benah milikku, bahkan aku kurang suka dengan warna hitam. Lebih tepatnya aku lupa memilikinya itu pun jika buku itu milikku.
Aku berusaha meraihnya, "sial! Kenapa lemari ini tinggi sekali sih!" geramku, sedang rasa ingin tahuku tentang buku hitam itu kian menggebu-gebu. Aku merasa kesal, karena tubuhku yang tak tinggi ini. Aku duduk di kursi yang biasa kugunakan untuk belajar dengan melihat terus buku hitam itu dan mengingat-ingat apa isi di dalam buku itu.
Sontak aku melihat benda sekelilingku, memperhatikannya dengan baik dan saksama, berfikir benda apa yang bisa digunakan untuk mengambil buku itu. Dan aku pasrah.
Tak ada satu benda pun yang dapat kupakai disini. Andai ada raket nyamuk, mungkin akan sedikit membantuku. Sayangnya benda itu tidak berada di kamarku saat ini. Aku terdiam lesu, menunduk. Dan
"Astaga! Gimana aku bisa bodoh!" raut wajahku berubah semringah. Lantas aku berdiri dan menggunakan kursi itu untuk mengambil buku hitam sedari tadi yang telah melambai penih arti. "Kutaklukan juga kamu" aku katakan itu dengan penuh penekanan sambil tertawa jahat melihat benda itu berada didekapanku. "Hei buku, kenapa kamu bisa di atas lemari itu?" Seperti yang kalian lihat, aku sudah mulai gila dibuat buku ini.
Tapi hal seperti itu, berbicara sendiri sudah kulakukan sedari dulu. Mungkin aku sedikit aneh, suka bicara sendiri, ngeluh sendiri nggak jelas dan yang lainnya. Mungkin dari dulu sudah gila? Mungkin tidak. Karena aku sedari SD nyatanya dapat peringkat satu terus, apakah ada orang gila yang berpendidikan sepertiku? Oke, aku mulai menyombongkan diri. Berhenti. Kembali ke buku hitam ini.
Aku membuka perlahan buku yang sedari tadi berada didekapanku. "Oh, ini sebuah album foto. Apakah itu waktu aku kecil? Tentu. Siapa lagi," aku bergumam sendiri sedari tadi dan tanpa sadar bibirku tertarik hingga membentuk bulan sabit. Iya, aku senyum.
Sampai di halaman tengah album foto itu, aku terdim. Kedua mataku melihat secarik kertas yang telah kusam terselip di halaman tengah album foto itu, aku teringat waktu pertama kali aku baca secarik kertas itu aku menyelipkannya ke album foto ini. Dan seseorang yang memberikan kertas kusam itu, menyuruhku membacanya memahami setiap katanya. Aku tak cuma mendapat itu saat usiaku sudah mulai beranjak dewasa aku mendapat kertas lain. Yang membuat aku merindukan hal dulu.
Hampir setengah jam aku terdiam penuh ke dalam secarik kertas yang telah kusam bahkan hampir sobek ditelan waktu yang ada, aku manatap penuh arti namun aku pucat pasi, sebab tak tahu arti apa yang terdapat di dalamnya, dalam kata-kata yang tertulis baik di kertas yang hampir sobek itu. Aku membacanya kembali, menghayati disetiap kata yang tertera, mencoba memahami lebih dalam lagi, aku yakin pasti dibalik ini ada rahasia besar, yang aku belum temukan sampai sekarang.
"Untukmu orang yang memiliki rumah ini. Kami tahu kalian adalah orang yang baik, aku tahu itu jika tidak kalian tak akan membaca surat ini. Tolong jaga putri kecil kami, jangan titipkan dia dipanti asuhan, aku mohon jangan. Kami harap anda akan membantu kami. Aku adalah seorang wanita yang baru saja menjadi ibu dua minggu lalu dari anak ini, aku sangat menyayanginya. Ini anak pertama kami. Tapi malangnya semesta tak mengizinkanku untuk merawatnya lebih jauh. Ia malah memilihmu untuk merawatnya, mungkin dengan kehadirannya juga bisa mengurangi kesepianmu. Dan Maaf sebelumya, anda tidak mengenal saya, tapi saya dan suami saya telah memantau anda dari 2 hari yang lalu. Hingga saya tahu anda dan suami anda adalah orang yang baik. Aku harus memberikan putri kami kepada kalian, kumohon rawatlah. Mereka terus mengejar kami. Mereka akan membunuh kami. Mereka tidak tahu bahwa aku mempunyai anak, maka dari itu jaga dia baik-baik, mereka tidak akan melepaskan anakku begitu saja. Jangan beri tahu ini kepada siapapun, jangan menelfon polisi. Aku mohon. Karena dengan itu artinya kamu membunuh anak tak berdosa ini. Berikan surat ini kepada putri kecil itu jika ia sudah tumbuh remaja, jika ada hal penting hubungin nomor ini 082****
Gadis sayangnya Mama dan Ayah. Mama minta tolong sama kamu Nak, tolong jangan percaya siapapun mereka, selain yang merawat kamu dan pemilik nomor diatas. Mama dan Ayah mencintau, selalu."
Tanpa kusadar aku telah meneteskan air mata, seakan aku merasa betapa takutnya ibu waktu itu. Apa yang tidak aku ketahui? Bagaimana bisa aku mengetahui? Sedangkan semua seperti bungkam mulut terhadapku.
Aku menangis pelan, merasakan sesak yang begitu luar biasa, merasakan sepi yang menyelimuti diri, sunyi. Tak ada siapa-siapa disini. Bahkan tak ada sebuah cahaya kecil untuk memberi arahan harus kuapakan ini. Apa aku harus membiarkannya begitu saja?, melupakannya?, menganggap semua baik-baik saja seperti kemarin-kemarin?. Mengapa hati kecil ini menjawab tidak.
"Ma, harusnya kau menuliskan suratnya jangan seperti ini, ambigu. Aku bingung memahaminya." Lirihku pelan, dengan kepala yang ku sender di atas meja belajar. Aku terus menangis, tanpa henti.
"Aku sendiri di semesta ini, Ma. Benar-benar sendiri, bahkan teman hanya satu." tambahku, aku memberikan tekanan pada kata benar-benar sendiri, dan entah rasanya sesak yang tak bisa dijelaskan di dada. Aku sesegukan tak henti, begitu pula dengan air mataku yang terus tertumpah di pipi.***
Haduh.. Bahkan belum sempat mengucapkan sebuah nama untuk memperkenalkan diri, ealah ada banyak rahasia yang sudah menghampiri.
MH: Woi! Lu ngapa coba haduh haduh. Ini lagi sedih-sedih Thor loh mah! Ngrusak aja ih!
Atcumi: Maapin dah, marah mulu lu :' ini dilanjut nggak?
MH: Yoi lah Thor.. Next!
Atcumi: Ets! Tak segampang itu, comment and vote dulu dong
wkowk...MH: Yelah! Udah neh!
Oke makasih semua, lanjut! 🤗
Selamat membaca ❤

KAMU SEDANG MEMBACA
2G: Gan and Gen
Teen FictionPersahabatan menjadi awal dari cerita ini. Satu per satu rencana semesta mereka lalui. Waktu dan jarak diperintah semesta untuk menjadi sebuah bumbu yang alami. Berbagai rintangan yang seharusnya tidak ada menjadi ada secara tiba-tiba. Rencana semes...