Liz - Prelude

11.9K 1.2K 136
                                    

Seperti biasanya, jam tiga dini hari, aku terbangun lagi, mengerjapkan mata dengan bosan dan memandangi langit-langit putih. Rasanya, aku masih bisa melihat wajah kecilnya yang tadi mengejarku di dalam mimpi, minta pertanggungjawaban. Kalau sudah begini, pasti sudah nggak akan bisa tidur lagi. Pasti. Selalu begini sejak dua tahun lalu.

"Halo, jam tiga," kataku pelan pada jam dinding glow-in-the-dark tanpa jarum detik di depanku. Suaraku serak seperti biasa. Hebatnya, malam ini tanpa mimpi buruk, mungkin karena aku kecapekan banget ngetik makalah pesanan kakak tingkat.

Aku beranjak malas dari tempat tidur, menyalakan lampu, dan berjalan ke kamar mandi. Sepi.

Bukan. Sepinya rumah ini bukan hanya karena malam. Sebenarnya, jam berapa pun di rumah ini pasti sesepi ini. Orang-orangnya sudah mati. Rumah ini lebih mirip kuburan. Bedanya, bukan mayat yang dikubur di sini, tapi jiwa dan harapan. Nggak ada masa depan di sini.

Setelah menyemprot kamar dengan aroma terapi lavender, (kata orang lavender bikin santai dan cepat tidur, but this is nonsense for me.) Kuganti kaus yang sudah lembab karena keringat, lalu kembali ke tempat tidur. Nggak, aku nggak akan mencoba tidur karena nggak bakalan bisa. Semakin keras aku mencoba, sudah pasti nggak akan bisa tidur lagi. Jadi, aku menarik ponsel dari nakas. Kupandangi foto demi foto di Instagram, berharap ada sesuatu yang membuatku tertawa karena psikolog bilang tertawa bisa mengendurkan saraf. Kalau saraf jadi kendur, pasti aku bisa santai dan tidur.

Kau yang nggak punya masalah tidur nggak bakalan ngerti gimana keselnya sulit tidur itu. Bukannya nggak usaha. Aku sudah usaha. Aku juga sudah minum obat tidur yang dijual di apotek. Yang herbal sama sekali nggak ada efeknya, sedang yang kimia, cuma bikin aku lemes sampai nggak bisa kuliah. Memang, aku punya cowok yang bisa gendong aku ke kampus. Tapi, nggak mungkin aku terus lihat dosen dengan mata setengah terpejam, apalagi pulang kuliah aku masih harus kerja. Nggak, deh. Siapa juga yang senang dimaki-maki sama dosen dan supervisor dikira habis dugem?

Aku juga sudah mencoba meditasi seperti arahan terapis di Youtube. Aku sudah mencoba makanan paling sehat yang bisa kutemukan di kulkas Mama. Nggak bisa! Aku tetap nggak bisa tidur, apalagi kalau mimpi buruk itu datang. Aku nggak bakal bisa tidur sampai berhari-hari.

Obat terbaik yang bisa kulakukan saat ini cuma membuka Instagram selebgram asal Indonesia yang kusukai, @GlacierMalik, cewek Indonesia yang jadi kaya raya setelah punya ipar Drey Syailendra dan punya suami model papan atas, Dave Malik. Aku suka melihat keluarga kecilnya yang bahagia. Foto-fotonya bersama suami gantengnya di New York bikin aku senang sekaligus iri. Bagaimana mungkin tiga tahun bisa bikin dia jadi sebahagia itu?

Tiga tahun yang lalu, saat aku perlahan berjalan ke kehancuran, dia berjalan ke kebahagiaan. Sekarang, dia sudah punya keluarga kecil yang bahagia dan aku mendekam di kuburan bernama rumah. Dia punya suami tampan turunan Italia, aku punya pacar yang kumiliki hanya karena takut sendirian. Dia punya kehidupan sempurna dengan kekayaan level surga dunia karena kakak iparnya, sedang aku harus bekerja di toko buku demi bisa mengumpulkan modal untuk pergi dari kota ini.

Yah, walau orangtuaku punya uang, aku nggak bakalan minta ke mereka.

Apa karena dia orang baik? Dia bukan pembunuh seperti aku? Dia sama sekali tidak pernah merasa dikejar rasa bersalah seperti aku?

Di video terakhir, Glacier itu makan malam di restoran mewah yang pengunjungnya harus pakai baju resmi dengan sahabatnya, Fifi Sembiring, cewek Batak yang nikah sama orang New York. Suaminya memangku anak pertama mereka yang berambut pirang dan Glacier mendudukkan anak kedua mereka yang berambut cokelat di high chair. Mereka menertawakan Oddy, anak Fifi yang memuntahkan makanan ke jas bagus ayahnya. Mungkin kalau aku yang muntah begitu, Papa bakal langsung membuangku ke tong sampah terdekat, hal yang pasti sangat ingin dilakukannya sekarang.

Membuangku ke tong sampah. Pasti itu yang pengin dilakukan Papa. Punya anak tinggal satu, pembunuh pula. Nggak ada yang lebih memalukan dari ini.

Kututup ponsel itu untuk menghapus air mataku.

Tuhan, waktu itu kenapa sih aku nggak mati aja? Kenapa harus dia? Apa karena Engkau ingin aku hidup sebagai pembunuh begini, menonton hidup orang lain dengan rasa iri yang tajam?

Aku nggak ngerti, Tuhan. Sama sekali nggak ngerti.

 Sama sekali nggak ngerti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Finn (Terbit; Gramedia Pustaka Utama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang