Liz - Blue Orbituary

4.6K 682 142
                                    

Kalau kau mau tahu, bukan hal yang mudah tinggal di rumah sunyi seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau kau mau tahu, bukan hal yang mudah tinggal di rumah sunyi seperti ini. Satu-satunya keramaian cuma musik yang kadang kunyalakan sekeras kemampuan speaker-ku atau sebesar kemampuan kupingku menerima suara dari headset.

Sebenarnya, aku kangen bisa ngobrol sama orang sungguhan. Aku pengin ribut seperti cewek remaja di film, keinginan yang nggak mungkin bisa terkabul. Bukan Arthur yang membawa pergi semua, tapi aku yang menghancurkan semua, termasuk Arthur.

Pernah waktu ada kecoak terbang masuk dari jendela ke kamarku, aku menjerit keras sekali. Papa mendobrak masuk ke kamar. Sumpah, aku lebih kaget melihat Papa di depan pintu kamarku daripada melihat kecoak terbang itu. Kami cuma saling melotot selama beberapa menit. Sadar kalau yang berteriak adalah anak yang nggak berguna, Papa cuma mengerjap di pintu, lalu menghela napas panjang dan menutup pintu lagi.

Malam itu aku menangis sampai pagi, bukan karena kecoak terbangnya hinggap di laptop dan nggak mau pergi, tapi karena rasa sakit yang perih banget di dalam dadaku.

Waktu di rumah ini masih ada asisten rumah tangga keadaan juga nggak terasa lebih baik. Mbak Ria lebih suka ngerumpi dengan tetangga. Dia lebih mirip agen rahasia yang disusupkan ke rumah kami untuk melaporkan secara rinci semua gerak-gerik anggota rumah. Aku baru tahu waktu melewati kerumunan tukang sayur bersama Romi. Sengaja kubuka jendela mobil waktu Romi berhenti di dekat kerumunan itu.

“Kamu marah?” tanya Romi setelah ikut mendengarkan rumpian dengan suara keras itu, tepat saat aku dibilang anak cewek nggak ada gunanya sama Mbak Ria.

Aku mengangkat bahu. “Aku nggak peduli,” jawabku jujur. Aku memang nggak peduli sama sekali. Toh aku memang sudah jadi bahan gosip sejak kematian Arthur. Terserah kalau dia memang mau menyiarkan isi rumah ini ke dunia.

Aku baru peduli waktu merasa barang-barangku hilang. Kumaki-maki Mbak Ria dengan suara keras. Sebenarnya, aku nggak terlalu marah. Yang hilang memang hanya jam tangan Dior hadiah ulang tahun dari Mama waktu aku SMA dan sepatu Nike lama yang sudah kekecilan (tapi sepatu itu asli, oleh-oleh adik Papa yang tinggal di Amrik). Aku cuma mau Papa atau Mama mendengar suaraku dan sedikit peduli.

Waktu masuk kamar, Papa cuma menyuruh Mbak Ria keluar dari kamarku dan bertanya padaku apa yang hilang. Setelah kujelaskan, Papa mengucapkan terima kasih dan menutup kamarku lagi. Malam itu juga Mbak Ria keluar dari rumah dan kami nggak punya asisten lagi. Mama menelepon petugas kebersihan dari layanan online setiap sore. Mereka menyelesaikan masalah tanpa banyak debat dan diskusi, sangat efisien.

Inilah yang membuatku jadi cewek yang nggak kenal capek. Setelah bekerja dan kuliah, aku masih menghabiskan waktu dengan ambil orderan bikin makalah. Ini tambang emas. Banyak mahasiswa dodol yang tahunya cuma menghabiskan uang bapaknya seperti Romi. Kalau ada tugas bikin makalah, mereka cari orang yang bisa dibayar untuk mengerjakan. Harga yang kutawarkan tergantung sama kemampuan bapaknya anak-anak itu. Pernah aku memasang harga satu setengah juta yang langsung disetujui sama cewek anak pejabat kantor walikota.

Finn (Terbit; Gramedia Pustaka Utama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang