About Finn

4.8K 630 179
                                    

Hi, Little Bee!

Maaf banget saya baru update Finn lagi. Kemarin-kemarin saya masih sibuk sama Lovely Glacie dan nulis untuk Unbroken Vow. Jadinya yang ini terbengkalai dulu. Hari ini, sebagai pemanasan, saya update ini dulu yak.

Nulis Finn sebenarnya sama kayak nulis work saya yang lain. Hanya saja, karena di dalam work ini ditambahin gibahan tentang autisme, saya jadi harus menulis dengan lebih saksama. Kalau bahasan saya mengenai autisme kurang dalem atau malah menggunakan bahasa yang sulit diterima, bakal hilang tujuan saya untuk menuliskan work ini.

Pada part terdahulu, ada aja yang ngegas mengenai vaksin. Katanya saya anti vaksin.

Jadi gini, Supratman. Saya nggak antivaksin. Ente mau ngasih one shot atau pentavalent atau hundreds valent, i just don't care. Saya hanya menyatakan, anak autis memiliki daya tahan tubuh dan kondisi metabolisme yang berbeda. Oleh karena itu, penggunaan vaksin sendiri perlu diobrolin sama dokter yang paham. Jangan cuma ke puskesmas atau ke mantri doang. Ngobrol sama nutritionist hingga lakukan tes agar tahu jelas apakah anak benar-benar dalam kondisi siap divaksin atau tidak.

Jangan cuma bergerak berdasarnya, "katanya nggak apa-apa, kok. Katanya oke aja."

Katanya siapa? Apakah yang bilang "katanya" itu sudah yakin mengerti? Kalau emang ngerti sih nggak apa-apa.

Penanganan autisme memang berbeda dengan anak lain. Silakan baca ulang dari part awal untuk mengulang dan mengingat kembali. Mulai dari makanan hingga obat ya berbeda juga dengan anak biasa. Ini karena kondisi tubuhnya yang memang berbeda. Jika masih belum paham bedanya, coba deh baca lagi dari halaman pertama work ini ya.

So, udah ngerti kan ya?

Kondisi anak satu dan yang lain berbeda. Masing-masing memiliki keunikan sendiri mengenai masalah dalam sistem metabolisme. Makanya saya kalau ditanya "obat autisme apa?" Nggak ngerti harus awab apa. Saya penulis, bukan dukun.

Dokter saja butuh rangkaian tes laboratorium untuk menentukan bagaimana kondisi anak dan memberikan obat yang benar, bagaimana ceritanya saya bisa nyebut nama obat tanpa lihat kondisi anak?

Ada seorang penulis yang sampai sekarang ngambek sama saya karena pas tanya obat autisme saya malah suruh baca jurnal dan buku Dr. Amy Yasko. Lha wong saya pas masih belajar tentang autisme saja nggak pernah kok nanya terus dijawab dengan penjelasan. Pasti jawabannya, "Mbak baca link ini. Mbak download jurnal ini. Mbak pahami dulu buku ini."

Sampai muntah darah juga jawabannya itu. Ya sudah, karena saya tahu jadi goblok kayak Maina itu sakit, akhirnya saya baca semua yang disarankan.

Saya pernah jadi orang bodoh yang cuma nurut "apa kata orang". Ternyata semua yang dikatakannya salah. Saat tahu kebenarannya, saya katakan pada diri sendiri, "Ini harga yang harus saya bayar untuk semua kebodohan saya."

Saya tidak mau mengalaminya lagi dan saya tidak mau teman-teman saya mengalami apa yang saya alami. Oleh karena itulah saya menulis kisah Finn dan Liz ini. Saya ingin lebih banyak orang yang mengerti tentang autisme sehingga nggak mempertontonkan kebodohannya dengan menjadikan autisme sebagai bahan ejekan.  Saya ingin lebih banyak orangtua dan keluarga yang memiliki anak autisme paham mengenai kondisi tubuh anak autisme. Jadi, nggak sembarangan dan nggak asal ikut-ikutan saja nyembuhinnya.

Nyembuhin?

Iya. Nyembuhin. Ayo baca lagi part sebelumnya.

Oke. Kita bahas soal Finn Andreas dulu ya.

Karakter Finn tercipta saat saya bertemu seorang anak di Pusat Layanan Autisme. Anak ini umurnya sudah 17-18 tahun. Anaknya tinggi dan tampan. Wajahnya oriental. Kalau nggak autis, mungkin dia jadi selebgram ngalahin oppa-oppa itu. Dia low functional autism. Dia non-verbal dan nggak memberikan tanggapan apa pun terhadap stimulus yang diberikan. Tapi, kalau lagi pengin, dia bisa lari cepat sekali.

Finn (Terbit; Gramedia Pustaka Utama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang