~•~
Hiruk pikuk berbagai keadaan menjalari penjuru area pasar, teriknya mentari di balik awan tak menghalangi orang-orang disana untuk beraktifitas dari kesehariannya. Sebuah langkah pelan tapi pasti pun mengintai, menghampiri segerumbulan ibu-ibu yang berbelanja di depan lapak sayur-mayur.
"Itulah yang kukatakan!" sambar wanita paruh baya dengan suaranya menekan diantara kerumunan, "Klan yang tersohor itu, tak ada yang menandinginya. Aku berpikir pasti mereka memiliki aset lebih disana," dengan serunya berceloteh tak mau kalah dengan ibu-ibu yang lainnya juga. Jari jemari lentik yang menyembul tanpa sepengetahuan lantas jadi terhenti di depan kantung kain wanita itu. Mata sang pemilik jari mendadak berkilap penuh arti.
Aset lebih = Uang banyak, pikirnya kemudian meringis licik.
Zura, panggilan si remaja berkuncir pirang kecoklatan yang diam-diam mendekat. Tertarik akan obrolan disana, jemarinya ia tahan sebentar, menunggu informasi yang mungkin akan menjadi tempat target selanjutnya.
"Tapi sekokoh-kokohnya bangunan akan runtuh juga," celetuk paman pedagang itu sendiri, "yang kutahu bahkan klan itu telah terbantai tak tersisa hanya dengan semalam entah karena apa," sambungnya yang justru membuat raut sumringah remaja tadi terganti dengan surut sinis.
Cih. Apa-apaan, ternyata tempatnya sudah tak ada, cibirnya pupus harapan mengetahui ladang aset yang dibicarakan telah tiada.
"Kalau tak salah... Asa-Asa..Asakura! Ya nama klan terpandang itu. Aku sendiri belum pernah menengok bagaimana kejayaan klannya." Wanita tadi lalu menimpali, "Baiklah jadi berapa semuanya pak?"
Namun tak berapa lama wanita itu mulai resah dan kebingungan, "Loh kantungku mana?!" pekiknya yang meraba seluruh bagian pinggangnya dan yang ditemukannya hanya secarik kertas bertulis 'Terima kasih atas uangnya Nyonya' yang terselip di ikat pinggang, hal itu lantas membuatnya naik pitam dan sedetik kemudian...
"Pencuri!!!"
Seorang remaja sekitar 16 tahun tertawa geli dari balik atap rumah sambil menimang-nimang sebuntel kantung kain di tangannya, sementara orang-orang yang dilihatnya dari bawah tengah ribut memanggil penjaga sekitar. "Makanya jangan banyak ngerumpi hehe," ledeknya lalu membuka kantung itu dan berdecih ketika tahu apa yang didapatnya hanyalah sedikit. "Sial, segini mana cukup. Aku harus cari mangsa lain."
Tanpa gentar ketahuan, Zura lekas pergi untuk mencari penghasilan lain. Bergerak lincah dari satu tempat ke tempat lain, melakukan aksinya dengan cekatan. Ia sendiri tahu tindakannya memang tidak patut ditiru, namun apa daya ia harus berjuang sendiri dengan hidup yang memang tak adil ini. Pernah bekerja sebagai budak hanya menyiksa raganya saja, keparat dengan majikan yang berlaku seenaknya tanpa memberikan upah yang setimpal. Mengingatnya saja Zura sangat muak.
Ah, Pengelana!
Memasuki perbatasan desa langkah Zura sontak terhenti saat tatapannya menangkap sesosok pria pengelana yang lewat di sekitar sana. Para pengelana memang incaran empuk bagi para pencuri pula, terkadang mereka bisa merauk sesuatu berharga dari apa yang mereka–para pengelana itu– bawa. Iris mata kecoklatan Zura kembali berkilap, apalagi ketika melihat tas kantung yang tersemat di pinggang si pengelana. Remaja itu memindik mengikutinya.
Zura memiringkan kepala dan menaikkan salah satu alisnya kala ia membuntuti pria tinggi berperawakan tegap itu. Pria berusia sekitar 20 tahunan yang terus memandang lurus dengan sebuah tongkat panjang menuntunnya dalam berjalan, kain putih terikat menutupi kedua matanya menjadi bukti kalau ia memang pengelana buta. Mudah saja bila mencuri darinya, pikir Zura sambil terkikik.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAZURA | √
Fantasy•| Fantasy-Adventure |• Mazura atau lebih sering dipanggil Zura ialah nama remaja pencuri yang sering berkeliaran seorang diri untuk bertahan hidup, suatu ketika ia mengincar seorang pria pengelana buta yang tengah singgah di perbatasan desa, namun...