~•~
"Zura?!"
Pekikan itu muncul selepas Zura di lontarkan asal ke dalam gerbong kereta kuda bak barang tak berguna. Zura mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang memanggilnya itu dan menyahut, "Zen!"
"Hah sungguh reuni ya," sindir pria tua yang di panggil dengan bos tadi. Tentu saja Zura tahu orang ini, karena ia majikan biadab yang pernah memperkerjakannya dulu. "Cepat jalan!" suruhnya kemudian.
"Kenapa kau bisa ada disini?" tanya Zen, teman seperkaburannya dulu yang lantas mendekati Zura.
"Ceritanya panjang, lagipula kenapa kau bisa di tangkap lagi olehnya?!" cebik Zura yang bertanya balik, namun Zen hanya menyengir untuk sesaat.
---
Malam telah memampangkan dirinya. Menma masih duduk menunggu, kakinya menghentak beberapa kali tak tenang. Namun tak lama setelahnya ia merasakan sesuatu tak asing dari penglihatan cakranya, ia melihat ketidakberesan dan meremas tongkat kayunya, "Zura..."
Tangan Zura kini terikat tali menyatu seperti anak-anak lainya, matanya sedikit melebar ketika melihat orang-orang tadi menggiringnya masuk ke dalam sebuah kapal yang nampaknya siap tuk berlayar. Ia mulai bertanya was-was, "O-oy apa kita akan menaiki kapal?"
"Mm.. ," jawab Zen muram di depannya, "Apa kau tidak diberitahu? Kita akan dikirim untuk dijual ke luar pulau."
Perkataan Zen tadi sontak membuat Zura terperangah. Tidak, ini tak boleh terjadi. Dirinya tidak bisa membiarkan anak-anak ini diperjual belikan sebagai budak, mereka berhak memiliki kebebasan untuk hidup, apalagi ia punya tujuan sendiri dan tidak bisa meninggalkan tempat ini begitu saja. Si tua Cun itu benar-benar membuat Zura muak!
"Zen kita harus melakukan sesuatu," sergah Zura meski setengah berbisik.
Zen terlihat sependapat, ia merespon tak sabar, "Jadi apa kau punya ide?"
Zura pun telihat antusias namun setelahnya, "Ah... Belum dapat." terdiam karena tak ada rencana di kepalanya. Zen lekas menatap rekannya itu datar.
"Sana cepat masuk dan diamlah!" Dua orang pria mendorong masuk Zura, Zen dan lainnya kasar ke dalam bilik salah satu kapal. Mereka lantas mengunci pintu itu dan tetap membiarkan terikat dengan talinya.
Zura dan Zen menghela napas, mereka berdua duduk bersandar pada dinding bilik kayu. Zura menggigit bibir bawahnya. Aduh bagaimana dengan Menma, aku tak seharusnya disini.
"Apa kau masih berkelana dengan mencuri?" pertanyaan Zen memecah pikirannya.
"Yah begitulah. Lagipula jelaskan! Kenapa kau tertangkap olehnya?"
Zen terkikik mendapati temannya itu masih saja bawel seperti biasanya, "Kau tahu, aku telah menemukan keluargaku di kota ini."
Mendengar itu Zura merasa senang, "Benarkah?"
"Asalnya aku berniat mencuri dari seorang wanita paruh baya yang rupanya ia malah ibuku sendiri," tuturnya diiringi tawa, "Namun keluargaku pula hanya keluarga miskin, singkat cerita mereka ternyata punya hutang pada Cun, dan Cun lantas membawaku sebagai jaminannya."
Zura berdecak sebal, "Huh dasar tua bangkot itu!"
"Kau sendiri?" kini Zen balik bertanya.
"Sebenarnya aku bisa ada disini karena perjalananku yang menuntun bersama seorang pengelana buta."
"Pengelana buta?"
"Bisa dibilang aku menjadi pemandu sementaranya sekarang. Kami sedang mencari kapal di kota ini, dan taunya aku malah ketemu si Cun dan dibawanya langsung."
Zen terkekeh, "Aku rasa ia punya dendam pada kita, apalagi dengan luka itu," lalu sekilas melirik Zura dengan hati-hati, "Jadi.. bagaimana dengan orang tuamu?"
Pertanyaan itu membuat Zura terdiam singkat lalu tersenyum kecut, "Entahlah. Aku bahkan tidak tahu ... Apakah keluargaku menginginkanku atau tidak."
Mendengar balasan enteng itu membuat Zen menegurnya, "Kau tak boleh menduga seperti itu, sebelum tahu yang sebenarnya."
Zura menanggapinya dengan desahan pelan. Sebuah guncangan lantas terasa, sepertinya kapal ini telah menaikan jangkarnya dan perlahan menjauhi dermaga. Suara ombakan air pun terdengar samar. Zura meringkuk, guncangan dari kapal dan suara air ini seakan mengingatkannya pada tiga belas tahun silam. ... Dimana ia dihanyutkan sendirian di perahu kecil dengan derasnya arus sungai.
Zura kala itu masih menginjak usia tiga tahunan, seingatnya ia sedang tidur di kamar dan bangun dalam keadaan di tempatkan di perahu kecil oleh kedua orang tuanya, mereka lantas mendorong perahu itu ke sungai dan meninggalkan Zura begitu saja tanpa berbalik lagi. Entah apa kesalahannya sehingga Zura pun berpikiran kalau mereka mungkin telah membuangnya.
Sampai seorang wanita tua menemukan dan mau merawat Zura dengan senang hati hingga ia beranjak remaja. Bagi Zura wanita itu keluarga sekaligus pahlawan baginya, sayangnya ia tak bisa berumur lama. Sebelum meninggal ia pun berharap Zura bisa kembali kepada keluarga aslinya. Ia juga membuatkan kalung dengan simbol salju seperti apa yang tertera pada punggung Zura sejak ia menemukannya.
"Dengar Zura, nenek sudah semakin tua. Nenek harap dengan kalung ini kau dapat menemukan keluargamu kembali," ujar wanita sepuh itu dengan suara paraunya, ia menyisir lembut rambut Zura.
Beberapa hari kemudian ia pun terbaring sakit dan menghembuskan napas untuk terakhir kalinya.
Zura sebatang kara sampai akhirnya bekerja pada orang yang salah. Cun, pria tua yang semena-mena. Tapi syukurnya Zura bisa kabur dari jeratan Cun, dalam aksi pelariannya bersama Zen mereka tak sengaja menabrak rak penuh alkohol milik pria tua itu, hingga salah satu dari minuman kerasnya sendiri tumpah dan menyiram ke sebagian wajahnya. Beruntung Mereka kabur dengan kesempatan itu. Zura lantas mengembara sebagai pencuri, berpisah dengan Zen.
Namun sial! sekarang mereka berdua justru terjerat kembali oleh Cun. Nampaknya luka siraman air keras itu belum membuatnya jera. Zura mendengkus, bagaimana pun juga ia harus bisa kabur lagi!
To Be Continued...
Pict illustration buat Zen😁
KAMU SEDANG MEMBACA
MAZURA | √
Fantasy•| Fantasy-Adventure |• Mazura atau lebih sering dipanggil Zura ialah nama remaja pencuri yang sering berkeliaran seorang diri untuk bertahan hidup, suatu ketika ia mengincar seorang pria pengelana buta yang tengah singgah di perbatasan desa, namun...